Jakarta, JurnalBabel.com – Daerah Istimewa Aceh merupakan provinsi yang diberikan keistimewaan untuk menjadikan zakat sebagai pengurang pajak berdasarkan Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Sebelumnya, zakat telah masuk dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) walaupun zakat belum berfungsi sebagai pengurang pajak. Namun sayangnya, UU tersebut sampai saat ini belum bisa dilaksanakan.
Menilik praktek di negeri jiran Malaysia, zakat sudah dapat menjadi pengurang pajak dan tidak masuk dalam anggaran pemerintah. Mengingat besarnya potensi zakat di Indonesia saat ini yaitu sebesar Rp500 triliun, sudah selayaknya pemerintah segera mempersiapkan aturan pelaksanaan zakat sebagai pengganti pajak.
Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PKS, Anis Byarwati, menyampaikan pandangannya terkait zakat pengganti pajak. Menurutnya, wacana mengenai zakat sebagai pengganti pajak sudah sejak lama menjadi diskusi dikalangan akademisi dan pemangku kebijakan. Kebijakan publik terkait zakat sebagai pengurang pajak selain berkaitan dengan masalah substansi akademik, juga dominan berkaitan dengan keputusan politik dari pemerintah dan stakeholder terkait.
Anis menjelaskan bahwa dalam khazanah Islam, telah dijelaskan bahwa dalam konsep keuangan publik Islam klasik, posisi zakat adalah menjadi bagian utama dari penerimaan Baitul Maal yang dialokasikan secara terikat untuk para penerimanya. Dan dalam perkembangan mutakhir, berbagai negara muslim menetapkan zakat dengan kondisi yang beragam dari yang bersifat mandatory sampai voluntary.
“Dalam konteks NKRI, pengelolaan zakat (sebagaimana dituangkan dalam UU Pengelolaan Zakat) sampai hari ini masih menganut paradigma voluntary dan memberikan partisipasi masyarakat untuk mendirikan LAZ,” kata Anis Byarwati dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (31/10/2020).
Jika mengacu pada khazanah awal keuangan publik Islam, maka kecenderungannya akan mengintegrasikan zakat pada keuangan publik negara. Adapun untuk kondisi Indonesia saat ini, dengan menimbang berbagai konsideran konstitusi dan UU yang berlaku, maka diperlukan objektifikasi dengan berbagai konsideran yang kontekstual, dengan mempertimbangkan kemaslahatan yang terbesar.
Dalam pandangan Anis, tantangan yang dihadapi pemerintah saat ini untuk menerapkan zakat sebagai pengganti pajak diantaranya kondisi penerimaan negara dan terutama penerimaan perpajakan yang sangat berat, membuat kebijakan zakat sebagai pengurang pajak, langsung dipersepsi pemerintah akan mengurangi penerimaan negara.
Selain itu, tuntutan dari pemeluk agama lain atas kewajiban keagamaan yang sejenis untuk mendapatkan equal treatment juga menjadi tantangan lain. Dan pelaksanaan Keuangan Negara (APBN) dan Keuangan Sosial Islam yang belum sinergis atau terintegrasi, menjadi tantangan tersendiri.
Terakhir, Anis memberikan catatan bahwa kebijakan zakat sebagai pengurang pajak membutuhkan kajian kebijakan yang lebih komprehensif dengan mempertimbangkan keragaman serta perlu analisis yang lebih detail. Kebijakan zakat sebagai pengurang pajak juga membutuhkan political will dan dukungan penuh dari pemerintah dan kekuatan-kekuatan politik serta stakeholder lainnya.
Sinergi dan integrasi yang lebih mendalam antara keuangan publik negara dengan keuangan sosial Islam, juga sangat diperlukan. Selain itu pemerintah perlu membuat disain perencanaan pembangunan nasional dan sinergi kebijakan yang kokoh untuk optimalisasi dan sinergi seluruh potensi keuangan negara.
“Keuangan publik negara, keuangan sosial Islam, dan dana-dana sosial masyarakat untuk peningkatan kesejahteraan rakyat dan pengentasan kemiskinan harus disinergikan dengan baik sebagaimana diamanatkan UUD 1945,” kata Anis menutup pandangannya. (Bie)