Oleh: Muhammad Rullyandi, Ahli Hukum Tata Negara
Penguatan sistem pemerintahan presidensial pasca reformasi perubahan amandemen UUD 1945 mengarah kepada penguatan jaminan masa tugas Presiden (fixed term) selama 5 tahun sebagai pilihan gagasan konstitusional atas dinamika sistem presidensial diberbagai negara di dunia.
Perubahan amandemen UUD 1945 mengadopsi alasan pemakzulan didalam Konstitusi Amerika Article 2 Section 4 sebagaimana UUD 1945 mempertegas alasan dan prosedur pemakzulan presiden dalam ketentuan pasal 7A dan 7B dengan syarat yang sangat ketat dan alasan yang limitatif serta prosedural kelembagaan melalui mekanisme jalur DPR, MK dan MPR.
Artinya mekanisme pemakzulan Presiden tidak bisa diselenggarakan melalui dorongan gerakan rakyat (people power) atas dasar adanya tuduhan terhadap pelanggaran Sumpah Presiden untuk meminta pertanggungjawabannya.
Di Indonesia sejak amandemen UUD 1945, proses pemakzulan presiden menggabungkan intermixture structural process yang artinya tidak murni hanya lembaga politik yang dilibatkan sehinga menghadirkan checks & balances didalam kontrol kelembagaan. MPR sebagai lembaga negara yang mewakili daulat rakyat in direct democracy memegang prinsip salus populi supreme lex (suara rakyat adalah hukum yang tertinggi).
Sehingga pengawasan penyelenggaraan kekuasaan tertinggi pemerintahan oleh Presiden dengan maksud bertujuan untuk suatu pemakzulan hanya dikatakan sah (konstitusional) melalui DPR, MK dan MPR bukan suara demonstrasi atau kelompok – kelompok tertentu diluar DPR, MK dan MPR.
Dengan adanya keterbatasan ketat syarat rigid dan limitatif alasan dan prosedur pemakzulan menurut UUD 1945 maka sulit sekali membawa tujuan wacana pemakzulan presiden dengan keinginan alam demokrasi bottom up atas dasar kebebasan berpendapat.
Kebebasan berpendapat sebagaimana ketentuan pasal 28 UUD 1945 merupakan hak konstitusional setiap warga negara yang pemenuhannya tidak bersifat absolut mutlak dalam pengertian sebebas – bebasnya. Demikian prakteknya dalam kehidupan negara hukum yang demokratis ada garis pembatasan dengan pertimbangan agama, moral, keamanan dan ketertiban umum melalui ditetapkannya suatu Undang – Undang sebagai pembatasan hak dan kebebasan setiap warga negara dalam hal menyampaikan kebebasan berpendapat (pasal 28 J ayat 2 UUD), sehingga dihadapkan dengan pertimbangan keamanan dan ketertiban umum maka suatu negara berdaulat tentunya berhak menentukan law in order (tertib hukum) dengan menghadirkan norma hukum ancaman terhadap kejahatan keamanan negara.
Norma hukum terhadap ancaman kejahatan keamanan negara merupakan norma hukum konstitusional dalam suatu tatanan masyarakat yang demokratis dan bukanlah tergolong suatu jenis Haatzaai Artikelen (pasal karet) yang dapat disalah gunakan oleh penguasa.
Jikalau saat ini wabah pandemi global Covid 19 telah memberikan dampak luas terhadap kehidupan negara dalam keadaan darurat, teringat dengan apa yang pernah disampaikan mantan Presiden Amerika Abraham Lincoln (safe guarding the nation and safe guarding the constitution), ketika negara dalam keadaan darurat yang pertama tujuannya lindungi dulu bangsamu dan yang kedua barulah lindungi konstitusi mu.
Manakala terjadi kegentingan keadaan darurat yang demikian maka pada hakekatnya semua tindakan negara untuk menyelamatkan bangsa sekalipun inkonstitusional menjadi rechtmatigheid (sah secara yuridis). Penting kita menyadari bahwa kebijakan Presiden Jokowi menghadapi darurat wabah pandemi global Covid 19 adalah kebijakan negara dalam keadaan abnormal condition yang tidak dapat digolongkan dalam alasan konstitusional pemakzulan Presiden.