Jakarta, JurnalBabel.com – Pakar komunikasi politik, Hendri Satrio, mendorong Mahkamah Konstitusi (MK) agar merespons keputusan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang menerbitkan Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 tentang Anggota Polri yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur Organisasi Polri.
Dalam aturan yang diteken Listyo pada 9 Desember itu, ada 17 kementerian/lembaga yang dapat diisi oleh anggota polisi aktif.
Hensa, sapaan akrabnya, berpendapat bahwa MK perlu memberikan penjelasan kepada masyarakat luas terkait larangan polisi aktif menduduki jabatan sipil seperti yang tertuang dalam Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025.
“Jadi bisa saja kemudian mereka beranggapan karena MK-nya tidak bicara maka Kapolri atau polisi tidak melanggar keputusan MK, atau ada juga kubu yg anggap bahwa Polri melanggar keputusan MK karena percaya Mahfud MD,” kata Hensa kepada wartawan, Ahad (14/12/2025).
Pendiri Lembaga Survei KedaiKOPI itu mengatakan tidak semua rakyat ahli atau paham tentang hukum. Menurutnya, rakyat perlu penjelasan tentang keberadaan Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 yang memungkinkan polisi aktif bisa duduk di 17 kementerian atau lembaga.
“Tidak semua rakyat itu paham hukum atau ahli hukum, jadi kalau kemudian multitafsir seperti ini ya wajar saja terjadi, nah dalam kondisi multitafsir yang mereka ikuti ya yang mereka paling percayai,” ujarnya.
“Misalnya Pak Mahfud, atau penjelasan DPR ya DPR, tapi kan dalam hal ini nama Mahfud yang juga dipercaya bahkan lebih dipercaya mungkin, jadi karena ketidakpahaman itu jadi masyarakat mencari sumber informasinya sendiri sendiri. Untuk menetralisir perlu MK gitu (beri penjelasan),” tambahnya.
Hensa menyebut saat ini mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan dan Ketua MK Mahfud MD menilai peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 bertentangan dengan undang-undang.
Mahfud menilai, perpol tersebut tidak memiliki dasar hukum yang sah.
Dalam pernyataannya, Mahfud menyebut aturan tersebut melanggar Pasal 28 ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, yang telah dipertegas melalui Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025.
“Ada 2 kubu selain Polri dan MK yang berkembang saat ini, yaitu kubu percaya Mahfud MD dan kubu percaya penjelasan Komisi 3 DPR, maka akan baik bila 2 kubu ini bertemu sehingga clear pesan sesungguhnya yang diterima rakyat,” ujar Hensa menjelaskan.
Oleh karena itu, Hensa menilai, MK melalui juru bicaranya harus memperjelas tafsir dari Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025 yang mempertegas larangan polisi aktif menduduki jabatan sipil sebagaimana tertuang dalam Pasal 28 ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri.
“Sehingga tidak menimbulkan misintrepretasi yang merugikan rakyat maupun Polri. Komunikasi Publik Lembaga dan Pejabat Negara harus diperbaiki sehingga multitafsir dalam penerimaan pesan tentang kebijakan tidak terjadi lagi,” katanya.
“Kalau memang Kapolri tak melanggar ya MK mesti bilang tak melanggar, demikian pula sebaliknya, bila melanggar ya katakan melanggar,” pungkasnya.
Sebelumnya, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menerbitkan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2025 tentang Anggota Polri yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur Organisasi Polri.
Dalam aturan yang diteken Listyo pada 9 Desember itu, ada 17 kementerian/lembaga yang dapat diisi oleh anggota polisi aktif.
Pasal 3 aturan itu menyatakan pelaksanaan tugas Anggota Polri pada jabatan di dalam dilaksanakan pada kementerian/lembaga/badan/komisi; dan Organisasi Internasional atau kantor perwakilan negara asing yang berkedudukan di Indonesia.
