Jakarta, JurnalBabel.com – Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional Partai Keadilan dan Persatuan (PKP), Said Salahudin, mengingatkan DPR, Pemerintah, KPU, dan Bawaslu perlu berhati-hati dalam menentukan jadwal Pemilu 2024.
“Jadwal Pemilu ditetapkan oleh UUD 1945. Mengubah waktunya menyebabkan pelaksanaan Pemilu berpotensi inkonstitusional,” kata Said Salahudin dalam keterangan tertulisnya, Minggu (19/9/2021).
Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 telah tegas menyatakan: “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”.
Menurut Said, frasa “lima tahun” mudah sekali mengitungnya, yaitu 12 bulan dikali 5 (lima). Kalau di tahun 2019 Pemilu dilaksanakan di bulan April, maka 60 bulan berikutnya jatuh di bulan April 2024.
“Nah, semestinya kita semua patuh dan konsisten pada perintah konstitusi itu. Negara ini harus dibangun dengan sistem yang ajeg agar agenda kenegaraan lima tahunan itu bisa dilaksanakan sebagaimana mestinya,” ujarnya.
Kalau ada alasan yang bersifat ‘force majeure’, seperti bencana alam atau bencana non alam yang terjadi di seluruh Indonesia atau ada unsur kedaruratan serta alasan khusus lainnya, lanjut Said, itu bisa saja dijadikan sebagai pertimbangan untuk memajukan atau memundurkan jadwal Pemilu sehingga tidak harus dilaksanakan di bulan April.
“Tetapi kalau alasannya hanya karena ada Pilkada Serentak 2024, itu jelas tidak masuk akal. Sebab, jadwal Pilkada Serentak Nasional di bulan November 2024 hanya diatur di level undang-undang,” jelasnya.
Berbeda halnya dengan Pemilu yang jadwalnya ditetapkan langsung oleh UUD 1945 dan sudah menjadi konvensi selalu dilaksanakan di bulan April sejak empat kali Pemilu terakhir. Jika Pemilu dilaksanakan di bulan Februari atau Mei 2024 seperti wacana yang muncul selama ini, sebut Said, itu artinya Pemilu tidak genap dilaksanakan setiap lima tahun sekali.
“Jadi, bisa muncul permasalahan hukum yang serius jika jadwal Pemilu yang diatur dalam UUD 1945 dikalahkan oleh jadwal Pilkada yang hanya diatur di level undang-undang,” tegasnya.
“Oleh sebab itu, kalau terpaksa harus ada yang dikalahkan, semestinya jadwal Pilkada-nya dong yang dimundurkan. Bukan jadwal Pemilu-nya,” sambungnya.
Kalau pelaksanaan Pilkada pada bulan November dianggap terlalu dekat dengan pelaksanaan Pemilu di bulan April, tambah Said, kan bisa saja jadwal Pilkada-nya dimundurkan oleh DPR dan Pemerintah melalui revisi undang-undang atau cukup dengan penerbitan Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) oleh Presiden dalam hal ada unsur kegentingan yang memaksa disana.
“Artinya, perubahan jadwal Pilkada lebih mudah dilakukan daripada mengubah jadwal Pemilu. Sebab, kalau Pemilu tidak dilaksanakan lima tahun sekali, maka MPR harus bersidang untuk melakukan amendemen Pasal 22E ayat (1) UUD 1945,” pungkasnya. (Bie)