Jakarta, JurnalBabel.com – Reformasi hukum pidana di Indonesia kembali memasuki babak penting dengan dimulainya pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) oleh DPR RI.
Penetapan RKUHAP sebagai usul inisiatif DPR dalam Rapat Paripurna pada 18 Februari 2025 serta dimasukkannya dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 menandai komitmen negara untuk menghadirkan sistem peradilan pidana yang lebih modern, adil, dan berpihak pada nilai-nilai hak asasi manusia.
Guru besar Ilmu hukum Universitas Al Azhar Indonesia, Prof. Dr. Suparji Ahmad, mengatakan, RKUHAP merupakan suatu keniscayaan bagi perubahan penegakan hukum di Indonesia. Mengingat UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP telah berusia 44 tahun dan tidak lagi mengakomodasi perkembangan teknologi, budaya hukum, berbagai putusan serta lainnya.
Menurut Suparji, RKUHAP didasari oleh kebutuhan filosofis untuk mengintegrasikan nilai-nilai keadilan restoratif dan rehabilitatif yang kini menjadi esensi dalam KUHAP baru.
Sementara secara sosiologis, KUHAP lama tidak lagi relevan dengan dinamika hukum dan kebutuhan masyarakat, terutama dalam mengakomodasi alat bukti elektronik.
“Adapun dari sudut pandang yuridis, banyak norma dalam KUHAP yang perlu disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih baru,” kata Suparji dalam Podcast Bebas Bicara di YouTube On Point Media, Jumat (16/5/2025).
Suparji menekankan, RKUHAP akan berdampak signifikan bagi seluruh lapisan masyarakat, bukan hanya aparat penegak hukum. Oleh karena itu, kehati-hatian, kecermatan, dan kepedulian terhadap rancangan ini menjadi krusial.
“Mengingat perubahan yang mendasar pada roh dan nilai-nilai yang diusung, metode penggantian KUHAP secara keseluruhan dianggap lebih tepat daripada sekadar revisi parsial. Hal ini bertujuan untuk memastikan konsistensi dengan filosofi keadilan restoratif dan rehabilitatif,” jelasnya.
Suparji menambahkan, dalam RKUHAP menggaungkan keadilan restoratif yang dipandang sebagai tuntutan yang perlu diperkuat, mengingat implementasinya yang sudah berjalan di berbagai tingkatan penegak hukum dan relevansinya dengan konsep diversi dalam sistem peradilan anak.
“Selain efisiensi dan pengurangan beban lembaga pemasyarakatan, keadilan restoratif juga dianggap lebih sesuai dengan fungsi hukuman yang berorientasi pada penjeraan dan edukasi. Namun, implementasinya harus dipastikan dalam perspektif hukum, bukan transaksional,” ungkapnya.
Suparji mengharapkan, DPR bersama pemerintah mengakomodasi aspirasi masyarakat secara sungguh-sungguh, dengan tetap berpegang pada objektivitas dan rasionalitas.
“Sikap kenegarawanan para anggota dewan dan pemerintah dalam membahas RUU KUHAP sangat penting, mengingat undang-undang ini merupakan kontrak sosial. Transparansi dan akuntabilitas dalam proses pembahasan juga krusial,” pungkasnya.
Sumber: wartakota.tribunnews.com