Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS), Sukamta, mendorong agar Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2021 untuk di revisi.
Hal tersebut menyusul pemerintah mendorong agar Mahkamah Konstitusi (MK) tidak mengabulkan gugatan RCTI dan Inews untuk mengubah pasal 1 angka 2 Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
Dua perusahaan media itu mengajukan uji materi soal UU Penyiaran dan menilai Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran menyebabkan perlakuan berbeda antara penyelenggara penyiaran konvensional yang menggunakan frekuensi radio dengan penyelenggara penyiaran over the top (OTT) yang menggunakan internet, seperti YouTube dan Netflix.
Apabila gugatan itu dikabulkan, masyarakat baik perorangan maupun badan usaha, terancam tidak leluasa menggunakan media sosial, seperti YouTube, Instagram, Facebook dkk, untuk melakukan siaran langsung (live).
Pengajuan uji materi perihal UU Nomor 32 Tahun 2002 Pasal 1 angka 2 diajukan RCTI dan iNews pada Juni lalu dengan nomor perkara 39/PUU-XVIII/2020.
Sukamta sangat mendukung dan mendorong agar Indonesia mempersiapkan perangkat aturan dan infrastruktur penyiaran digital.
Ia juga mengaku sejak dulu sudah memprediksi dunia digital bisa menjadi rimba belantara yang tak memiliki aturan, jika hukum dan perundangan-undangan yang ada belum memadai.
Menurut Sukamta, pengaturan penyiaran digital harus komprehensif dan ini bisa dilakukan dengan revisi UU Penyiaran.
“Karenanya saya terus mendorong revisi UU Penyiaran masuk kembali ke dalam Prolegnas pada tahun-tahun mendatang untuk menjawab tantangan zaman ini,” kata Sukamta dalam keterangan tertulisnya, Jumat (28/8/2020).
Wakil Ketua Fraksi PKS ini menjelaskan bahwa kekhawatiran rekan-rekan pelaku industri penyiaran swasta ini juga kami pahami bahwa asas keadilan dalam persaingan usaha bidang penyiaran juga harus terjamin.
Namun, sebutnya, pengaturan penyiaran digital tidak bisa dilakukan secara parsial hanya dengan mengubah 1 atau beberapa pasal saja melalui Putusan MK. Pengaturannya harus mengubah banyak pasal. Misalnya, bagaimana soal migrasinya, bagaimana soal penyiarannya single atau multi mux, siapa yang menyelenggarakannya, bagaimana dengan kewenangan KPI, dan seterusnya.
“Malah berbahaya jika aturan soal penyiaran digital ini hanya diatur secara parsial begitu. Karena itu, solusinya ya Revisi UU Penyiaran untuk mengaturnya secara komprehensif,” jelas Sukamta menegaskan.
“Makanya sejak dulu Saya dan teman-teman di Komisi I mendorong agar pembahasan Revisi UU Penyiaran segera selesai dibahas dan alhamdulillah sebetulnya draftnya sudah selesai di Panja Komisi I,” imbuhnya.
Legislator asal Yogyakarta ini mengungkapkan, permasalahan muncul ketika pembahasan di Badan Legislasi (Baleg). Namun, pembahasan menemui jalan buntu terkait model migrasi digital manakah yang dipakai, single-mux atau multi-mux. Akibatnya hingga sekarang terdapat kekosongan hukum, siaran-siaran digital lewat internet tidak bisa di hukum dengan UU Penyiaran yang existing.
Sukamta kembali berharap Revisi UU Penyiaran bisa kembali mulai dibahas tahun depan.
“Apapun hasil putusan MK nanti , yang penting dunia penyiaran ini betul-betul dapat mewujudkan tujuan penyiaran membangun bangsa Indonesia yang beradab. Menciptakan generasi penerus bangsa bisa dilakukan dengan mengatur dan mengarahkan dunia penyiaran saat ini,” harapnya mengakhiri. (Bie)