Jakarta, JurnalBabel.com – Komisi II DPR mendesak Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/ Badan Pertanahan Nasional (BPN) melakukan evaluasi dan penyelesaian terhadap seluruh hak guna usaha (HGU), hak guna bangunan (HGB) dan hak pengelolaan (HPL) yang tumpang tindih.
Terutama dengan hak rakyat atas tanah yang tidak sesuai izin dan pemanfaatannya, peruntukannya serta yang terlantar dan tidak memberi manfaat bagi kepentingan bangsa dan negara.
Keputusan tersebut diambil sebagai salah satu kesimpulan rapat kerja Komisi II DPR bersama Kementerian ATR/BPN di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (23/3/2021).
Wakil Ketua Komisi II DPR, Syamsurizal, mengungkapkan dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja di Badan Legislasi (Baleg) DPR tahun lalu, salah satu unsur yang dimasukkan dalam RUU yang kini sudah menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yakni berkaitan dengan kelebihan penggarapan tanah oleh pihak ketiga ketika HGU diberikan.
Artinya, kata dia, pengukuran ulang atau evaluasi terhadap lahan HGU yang tumpang tindih ini harus dilakukan. “Ini perintah UU sebagaimana di atur dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Kita mesti melakukan pengukuran ulang,” tegas Syamsurizal.
Lebih lanjut anggota Baleg DPR ini mengatakan bahwa dengan pengukuran ulang ini, pemerintah bisa memberikan sanksi berupa denda kepada perusahaan pengelola HGU yang melanggar. Sebab, ia mendapatkan informasi bahwa potensi kerugian negara dari pengelolahan HGU melebihi batas izin mencapai Rp 392 triliun.
“Informasi yang kami terima sebesar Rp 392 triliun. Itu pernah dikeluarkan sebuah harian di ibukota,” katanya.
Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini juga menanggapi jawaban Menteri ATR/Kepala BPN Sofyan Djalil dalam rapat kerja dengan Komisi II DPR sebelumnya, yang keberatan dengan pengukuran ulang HGU dengan alasan akan memakan biaya yang terlalu besar.
Menurut Syamsurizal, biaya yang dikeluarkan untuk melakukan pengukuran ulang lahan HGU tidak sebanding dengan potensi kerugian negara yang lebih besar.
“Tidak bisa tidak, kita mesti melakukan pengukuran ulang. Masalah biaya tidak etis kalau kita angkat untuk menjadi penghambat untuk sebuah kerja yang menjadi tugas dan itu adalah perintah undang-undang,” tegas legislator asal Riau ini.
Selain mendesak evaluasi dan penyelesaian lahan HGU, HGB dan HPL yang tumpang tindih, raker tersebut menyimpulkan dua hal. Yakni dalam rangka mendorong pencegahan, pemberantasan penyelesaian praktik mafia pertanahan dan permasalahan penataan ruang di seluruh Indonesia, Komisi II DPR RI akan membentuk Panitia Kerja HGU, HGB dan HPL, Panitia Kerja Mafia Pertanahan dan Panitia Kerja Tata Ruang.
Komisi II DPR dan Menteri ATR/BPN sepakat menunda pemberlakuan Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 1 Tahun 2021 tentang Sertipikat Elektronik dan segera melakukan evaluasi dan revisi terhadap ketentuan yang berpotensi menimbulkan permasalahan di masyarakat.
(Bie)