Jakarta, JurnalBabel.com – Presiden Joko Widodo saat ini sedang mempertimbangkan untuk menggunakan kewenangannya mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Pengganti Undang-Undang atau Perppu mengenai Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK. Pasalnya, berbagai kalangan mahasiswa, aktivis anti korupsi menolak UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang sudah di revisi.
Anggota Komisi III DPR Arteria Dahlan mengatakan kewenangan Presiden dapat mengeluarkan Perppu harus dijaga sekali. Ini hak konstitusi Presiden yang diatur dalam pasal 22 ayat 1 UUD.
“Tetapi kita ingin jangan sampai Presiden terjebak. Ini harus cermat karena diksinya kosekuensi hukum, harus hati-hati. Tidak hanya pertimbangan politis, tetapi juga kosekuensi hukumnya,” kata Arteria dalam acara salah satu stasiun televisi swasta baru-baru ini.
Menurut Arteria, kegentingan memaksa apa yang membuat Presiden keluarkan Perppu KPK. “Apakah demo mahasiswa kegentingan yang memaksa? Di 2014 ada putusan lain di Mahkamah Konstitusi (MK). Jangan kita biasakan seperti ini demo, ini melegitimasi lembaga negara. Besok kalau tidak setuju sama regulasi turun ke jalan,” tuturnya.
Politisi PDIP ini berpandangan bahwa UU KPK hasil revisi belum dipakai, belum di nomerkan. Nikmati dulu bahwa ada ruang judical review ke MK. Legislativ review kalau memungkinkan. Didefinisikan oleh MK pada 2014 bahwa Perppu kegentingan yang memaksa untuk menyelesaikan masalah hukum yang secara cepat berdasarkan UU.
“Pertanyaannya adalah unjuk rasa itu masalah hukum atau tidak? KPK nya berhenti sekarang? Penegakan hukum jalan KPK nya masing nangkepin OTT dan sebagainya,” katanya mempertanyakan.
Mantan advokat ini juga menjelaskan bahwa Perppu bisa dikeluarkan dengan alasan adanya kekosongan hukum. Kini KPK tetap eksis.”Kekosongan hukumnya dimana?,” ujarnya mempertanyakan.
Arteria menegaskan bahwa Presiden jangan sampai terjebak mengeluarkan Perppu KPK karena ada konsekuensinya. Presiden disangka mengintervensi hukum mengeluarkan Perppu KPK.