Ditanda tangani dan disahkannya beberapa hari lalu, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan adalah terasa agak aneh, ini kebijakan diam-diam bagai serangan fajar jelas bertentangan dengan asas transparansi apalagi ini peraturan yang bersifat publik.
Semestinya kalaupun pemerintah membuat kebijakan yang diam-diam itu untuk membahagiakan, mensejahterakan, kabar yang lebih baik dan berpihak pada rakyat bukan membebani atau menjadi kabar yang gak enak, di saat kondisi seperti ini dimana diketahui masih lemahnya daya beli masyarakat, kok ngebebani masyarakat lagi.
Seharusnya sebagai pemimpin lebih bijaksana, lebih peka, lebih bisa merasakan bukan sekedar merasa bisa, ini kan sederhana saja dan logika banyak cara lain yang bisa di efesisensi yang semestinya ditempuh bukan diarahkan pembebanan pada rakyat saat situasi begini.
Keberadaan Peraturan Presiden ini seolah abai dengan rasa keadilan sosial dan tidak benar benar mempertimbangkan situasi kesulitan yang dirasakan masyarakat pada umumnya, indikator salah satu aturan itu memperhatikan aspek sosiologis (ius operation) yang sedang dialami masyarakat, dimana pada umumnya saat ini semua kena dampak secara sosio ekonomi akibat bencana Covid 19.
Selain itu jelas jelas diketahui kenaikan tarif BPJS telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA) melalui putusan MA Nomor 7P/HUM/2020 pada 27 Februari 2020, sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara semestinya wajib tunduk pada putusan tersebut dengan menjalankan putusan MA tersebut bukan malah membuat Perpres baru lagi ini kan sama artinya Presiden tidak menghormati lembaga peradilan sebagai wujud organ dari negara hukum dan adanya kepastian hukum.
Dengan tindakan mengeluarkan Perpres baru lagi ini dapat dikualifikasikan sebagai tindakan sewenang-wenang, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 18 ayat (3) huruf b, UU No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, karena bertentangan dengan putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijs), dan hal ini menjadi preseden tidak baik bagi pemerintahan dan perlahan membuat kehilangan kepercayaan publik pada Presiden.
Selain itu juga Presiden telah melanggar sumpahnya sebagaimana sumpah Presiden yang tertuang di dalam Pasal 9 UUD 1945 yang menyatakan antar lain akan menjalankan Undang undang dan segala peraturan dengan selurus lurusnya. Dengan sudah adanya putusan judicial review MA atas Perpres , maka putusan MA tersebut sudah jadi produk hukum, sudah jadi UU jadi tidak boleh dibantah atau ditunda lagi pelaksanaannya harus dijalankan selurus lurusnya, ini kok malah buat Perpres baru lagi untuk objek yang sama, jadi jelaskan Presiden tidak patuh pada produk UU jadi Presiden telah Melanggar Sumpah , melanggar sumpah berarti melanggar UUD 1945.
Ditulis oleh: Azmi Syahputra, Ketua Asosiasi Ilmuwan Praktisi Hukum Indonesia(Alpha)