Beberapa hari terakhir ini media sosial diramaikan dengan perbincangan seputar keraguan publik terhadap rencana pengujian undang-undang atau ‘Judicial Review’ (JR) UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Belum-belum masyarakat sudah pesimis dan bahkan tidak percaya bahwa MK akan bersedia mengabulkan permohonan JR omnibus law. Dari perspektif sosiologi hukum hal ini bisa dimaklumi.
Saya pun termasuk yang berpandangan bahwa langkah ‘judicial review’ ke Mahkamah Konstitusi belum menjadi prioritas. Yang perlu diutamakan sekarang adalah mendorong agar UU Cipta Kerja dibatalkan sendiri oleh DPR dan/atau Presiden melalui proses ‘legislatif review’ atau ‘executive review’.
Terkait keraguan publik pada lembaga MK dalam menguji UU Cipta Kerja saya mencatat setidaknya ada dua alasan utama yang dikemukakan oleh masyarakat di media sosial.
Pertama, terkait kredibilitas Hakim Konstitusi. Masyarakat menilai MK tidak kredibel karena hakimnya mudah disuap. Argumen ini didasari pada pengalaman dua Hakim Konstitusi yang pernah ditangkap oleh KPK karena tersangkut kasus korupsi.
Masyarakat juga meragukan kredibilitas Mahkamah Konstitusi karena secara empiri terdapat sejumlah putusan MK yang dianggap tidak memberikan rasa keadilan kepada masyarakat. Kasus yang dicontohkan diantaranya adalah Putusan MK mengenai sengketa hasil Pilpres.
Ada pula argumen yang mengaitkan dengan proses pengisian jabatan Hakim MK yang dipilih oleh DPR dan Presiden sebagai pembentuk UU Cipta Kerja. Hal tersebut menyebabkan masyarakat ragu MK dapat bersikap objektif dalam memutus JR omnibus law.
Terhadap ketiga argumen itu saya berpandangan bahwa dalil-dalil tersebut muncul karena masyarakat masih dalam keadaan emosional, sehingga kurang objektif dalam merespons isu mengenai ‘judicial review’.
Jika ketidakpercayaan masyarakat kepada Mahkamah Konstitusi dikaitkan dengan kasus korupsi yang pernah menimpa mantan Hakim Konstitusi Akil Mochtar dan Patrialis Akbar, misalnya, saya kira hal itu kurang tepat.
Sebab, pada kasus Akil dan Patrialis publik secara transparan sudah melihat sendiri bahwa pengadilan tindak pidana korupsi sama sekali tidak menemukan adanya keterlibatan dari Hakim Konstitusi yang lain. Sehingga, menjadi tidak fair menurut saya jika publik membuat generalisasi bahwa Hakim Konstitusi mudah disuap.
Lagi pula, sejumlah Hakim Konstitusi yang menjabat pada saat munculnya kasus Akil dan Patrialis sekarang sudah banyak yang pensiun. Begitu pula dengan Hakim yang memutus sengketa hasil Pilpres, terutama di Pilpres 2014, sebagiannya sudah diganti.
Mengenai Hakim MK yang dipilih oleh DPR dan Presiden pun perlu diluruskan bahwa hal tersebut sudah menjadi ketetapan konstitusi, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 24C ayat (3) UUD 1945. Jadi itu bukan maunya Hakim MK sendiri atau maunya DPR dan Presiden.
Nah, disamping alasan pertama yang terkait dengan kredibilitas Hakim MK diatas, ada pula alasan kedua yang dimunculkan oleh masyarakat yang tidak percaya bahwa MK akan mengabulkan JR UU Cipta Kerja, yaitu terkait persoalan aturan hukum.
Masyarakat coba mengaitkannya dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (UU 7/2020), yang diundangkan enam hari sebelum UU Ciptaker disahkan oleh DPR.
Dalam UU tersebut DPR dan Presiden menghapus ketentuan Pasal 59 ayat (2) yang sebelumnya termuat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (UU 8/2011).
Pasal 59 ayat (2) pada pokoknya mengatur mengenai kewajiban bagi DPR dan Presiden untuk segera menindaklanjuti Putusan MK yang terkait dengan JR, dalam hal Putusan itu mengubah undang-undang yang diuji.
Nah, penghapusan pasal itu banyak dikira orang merupakan skenario dari DPR dan Presiden untuk menihilkan Putusan MK. Mereka pikir, dengan demikian maka DPR dan Presiden tidak lagi memiliki kewajiban untuk menindaklanjuti Putusan MK.
Sehingga, terbangunlah asumsi di masyarakat bahwa seandainya pun UU Cipta Kerja dibatalkan, baik sebagian atau seluruhnya oleh MK, maka hal itu akan sia-sia sebab UU tersebut tetap bisa diberlakukan oleh DPR dan Presiden. Padahal ini asumsi yang keliru.
Perlu diketahui, penghapusan Pasal 59 ayat (2) UU 8/2011 melalui UU 7/2020 bukanlah kemauan DPR dan Presiden, melainkan pasal itu dihapus justru karena diperintahkan oleh MK.
Ketentuan Pasal 59 ayat (2) UU 8/2011 sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi sejak sembilan tahun yang lalu melalui Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011, tanggal 18 Oktober 2011. Jadi, memang sudah seharusnya Pasal 59 ayat (2) itu dihapus dalam UU 7/2020.
Penghapusan pasal tersebut sama sekali tidak mempengaruhi sifat Putusan MK yang memiliki kekuatan hukum terakhir dan mengikat (‘final and binding’), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945.
Penghapusan Pasal 59 ayat (2) juga tidak menyebabkan Putusan MK bisa dikesampingkan oleh DPR dan Presiden, sebab dalam pengujian undang-undang kedudukan Putusan MK dipersamakan juga dengan undang-undang.
Dalam pembentukan undang-undang, DPR dan Presiden merupakan postitif legislator, sedangkan MK diposisikan sebagai negatif legislator. Teori hukumnya begitu.
Jadi, sekalipun Pasal 59 ayat (2) telah dihapus oleh UU 7/2020, dalam hal JR UU Cipta Kerja dikabulkan dan UU tersebut, misalnya, dibatalkan oleh MK, maka tidak ada tafsir lain lagi: ‘good bye omnibus law’.
Penulis: Said Salahuddin, Pengamat Hukum Tata Negara, Direktur Sinergi masyarakat untuk demokrasi Indonesia (Sigma)