Jakarta, JurnalBabel.com – Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI Netty Prasetiyani Heryawan meminta pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja dihentikan. Ia menilai RUU ini berpotensi mengekang kebebasan pers di Indonesia.
“Hentikan pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja karena berpotensi membungkam dan menyulitkan dunia pers di tanah air,” kata Netty kepada media, Sabtu (23/05/2020).
Menurut anggota Komisi IX DPR RI ini, RUU Omnibus Law Cipta Kerja mengandung upaya mengembalikan campur tangan pemerintah dalam kehidupan pers.
“Disebutkan dalam RUU ini adanya peraturan pemerintah tentang pengenaan sanksi administratif terhadap perusahaan media yang melanggar aturan terkait badan hukum pers, pencantuman alamat dan penanggungjawab secara terbuka,” ungkapnya.
Lebih lanjut Netty mengatakan adanya peraturan pemerintah tersebut seperti membuka pintu belakang yang bertentangan dengan semangat pengelolaan mandiri (self-regulatory) media yang terbebas dari intervensi pemerintah.
“Kita perlu mendorong pers yang kredibel dan bertanggung jawab, namun jangan sampai RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini mengembalikan pengalaman buruk di masa Orde Baru, di mana ada campur tangan Pemerintah yang besar terhadap pers,” ujarnya.
Sebagaimana diketahui, pada masa Pemerintahan orde baru, Pemerintah melakukan kontrol terhadap pemberitaan media, mulai dari keharusan adanya Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), pengendalian Dewan Pers, pengaturan organisasi wartawan hingga pembredelan.
“Langkah ini dapat menjadi kemunduran bagi kebebasan pers Indonesia,” tambahnya.
Selain itu, kata Netty, dalam Undang-Undang Tentang Pers No 40 Th 1999, denda untuk perusahaan pers yang melanggar ketentuan soal kewajiban memperhatikan norma agama dan kesusilaan dalam pemberitaan, paling banyak Rp500 juta, tetapi dalam draft RUU Cipta Kerja disebutkan sampai Rp 2 miliar.
“Pelanggaran memang perlu diberi sanksi sebagai cara pembelajaran. Namun, untuk apa dinaikkan sampai empat kali lipat? Hal ini akan sangat menyulitkan teman-teman pers. Bisa jadi tidak ada lagi yang berani menjalankan perusahaan pers kalau dendanya sebanyak itu,” terangnya.
Netty juga berpendapat bahwa pers yang sehat, bebas dan bertanggungjawab adalah pilar demokrasi. Menurutnya, pers dapat menjadi alat kontrol sosial untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh pejabat publik.
“Nah, fungsi ini akan berjalan dengan baik, jika pers independen dan memiliki keleluasaan. Jika ditakut-takuti dengan denda dan sanksi yang berat dan diawasi dengan peraturan pemerintah soal administrasi, tentu akan mempengaruhi keleluasaan pers dalam menjalankan fungsi kontrol sosial,” pungkasnya.
Sebagaimana diketahui, Paragraf 5 Pasal 87 RUU Omnibus Law Cipta Kerja mengandung ketentuan revisi terhadap UU No.40 tentang Pers, antara lain pada Pasal 11 dan Pasal 18 yang ditolak kalangan insan media.
Pasal 11 mengatur mengenai mekanisme penanaman modal, yang awalnya dilakukan melalui pasar modal direvisi menjadi pemerintah pusat mengembangkan usaha pers melalui penambahan modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal.
Sementara Pasal 18 merevisi ketentuan terkait pemberian sanksi bagi perusahaan pers yang melakukan pelanggaran atas pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta pasal 13 UU Pers, dari denda maksimal Rp 500 juta menjadi Rp 2 miliyar.
Kemudian pada ayat 3, perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 100 juta direvisi menjadi perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dikenai sanksi administratif.
Terakhir, di ayat 4 mengenai ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. (Bie)
Editor: Bobby