Jakarta, JurnalBabel.com – Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law tentang Kesehatan harus bisa mencegah munculnya penyakit berat berbiaya tinggi yang mayoritas berasal dari penyakit tidak menular dan pola gaya hidup yang tidak sehat.
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR, Anas Thahir, mengatakan dalam beberapa tahun terakhir ada kecendrungan naiknya angka kematian dan angka kesakitan akibat penyakit tidak menular. Penyakit tidak menular ini dinilai memang penyakit-penyakit berat memunculkan biaya yang sangat tinggi.
Ia mengungkapkan ada 10 penyakit berbiaya besar seperti jantung, kanker, stroke, ginjal dan sebagainya. Padahal penyakit-penyakit berat ini lebih disebabkan hanya oleh faktor gaya hidup, makanan yang buruk, istirahat yang tidak teratur, olahraga yang tidak disiplin, faktor rokok dan minuman beralkohol.
Artinya, lanjut Anas, sebenarnya ada cara murah yang bisa ditempuh pemerintah agar penyakit-penyakit berat ini bisa dihindari.
“Tinggal bagaimana menurut saya Kementerian Kesehatan (Kemenkes) juga memberikan perhatian pada upaya-upaya pencegahan dengan semakin banyak melakukan sosialisasi kepada masyarakat soal makanan, rokok dan sebagainya,” kata Anas dalam rapat kerja Baleg DPR dengan Wamenkes, BPJS Kesehatan, DJSN, BPOM, BKKBN dalam rangka penyusunan RUU Kesehatan, di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (22/11/2022).
Anggota Komisi IX DPR ini pun meminta kepada Wamenkes memberikan usulan kepada Baleg DPR terkait pasal-pasal yang bisa diprioritaskan untuk memberikan perhatian terhadap pemaksaan gaya hidup masyarakat agar lebih baik.
Menurut Anas, hal ini penting dilakukan karena memang penyakit-penyakit berat yang diakibatkan oleh akibat kesalahan gaya hidup ini pemerintah harus mengeluarkan biaya yang sangat tinggi.
“Memang bagi perokok dan peminum alkohol tidak berasa, tapi dampaknya bagi yang dibayarkan BPJS Kesehatan ke rumah sakit karena BPJS itu hutang terus, itu cukup besar,” ungkapnya.
Politisi PPP ini juga menyoroti keuntungan dari segi pendapatan yang diperoleh oleh BPJS Kesehatan dalam dua tahun terakhir yang dinilai mengalami keuntungan. Faktanya, kata Anas, sejak 2013 BPJS Kesehatan didirikan rugi terus.
“Lalu baru di 2022 BPJS untung karena faktor pandemi, dimana orang-orang tidak mau berobat ke RS lalu BPJS tidak keluar duit,” katanya.
Tidak ketinggalan, Anas Thahir juga menyoroti masih tingginya angka stunting di Indonesia sekitar 24 persen. Padahal Presiden Jokowi bolak balik menyatakan stunting ini harus mampu ditekan di 2024 sampai di angka 14 persen.
“Rekor kita mampu menurunkan angka stunting itu 10 persen dalam waktu 6 tahun. 2013-2019 itu dari 37 persen menjadi 27 persen. Sekarang 10 persen harus ditekan 1,5 tahun, bisa tidak? Masa menurunkan stunting harus dengan UU?” kata Anas.
“Padahal toleransi WHO terhadap angka stunting di tiap negara maksimal cuma 20 persen. Malu harusnya kita angka stunting belum menurun sampai di bawah 20 persen,” pungkasnya. (Bie)