Jakarta, JurnalBabel.com – Presiden Joko Widodo (Jokowi) berencana mencabut subsidi energi BBM dengan alasan sudah lebih dari Rp 500 triliun di 2022.
Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR Fraksi PKS, Sukamta, menolak kenaikan BBM. Sebab, kata dia, alasan pemerintah bahwa subsidi BBM tahun 2022 sudah mencapai Rp 500 trilliun itu tidak benar.
Yang benar, ungkapnya, subsidi energi tahun 2022 sebesar Rp 208,9 T. Itu pun terdiri dari subsidi BBM dan LPG Pertamina 149,4 T serta subsidi listrik 59,6 T.
Sisanya, lanjut dia, Rp343 trilliun untuk membayar utang kompensasi alias utang pemerintah ke Pertamina dan PLN tahun 2022 sebesar Rp 234,6 triliun dan utang tahun 2021 sebesar Rp 108,4 triliun.
“Pemerintah seharusnya jujur, bukan membuat framing utang,” tegas Sukamta dalam keterangan tertulisnya, Senin (22/8/2022).
“Kompensasi ini alasannya untuk mendukung operasional Pertamina dan PLN dalam menyediakan BBM subsidi. Jadi ini subsidi ke Pertamina dan PLN bukan ke rakyat,” sambungnya.
Mirisnya, tambah Sukamta, kompensasi yang diberikan kepada PLN dan Pertamina sebagian besar untuk membayar utang BUMN tersebut dan untuk menanggung beban umum dan administrasi perusahaan termasuk membayar gaji-gaji direktur, komisaris dan manajemen. Sementara, Pertamina beban umumnya sangat besar mencapai Rp 29 trilliun pada tahun 2021.
Ia pun memprediksi di tahun 2022 angkanya kemungkinan tidak akan berbeda jauh.
“Jadi pemerintah ini bikin pesan agar ada alasan utang pemerintah ke Pertamina dan PLN dibayar oleh rakyat. Dalihnya terlalu banyak subsidi BBM yang mencapai Rp 500 triliun. Padahal pemerintah ini tidak sanggup membayar utang ke Pertamina dan PLN,” ungkapnya.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut, Wakil Ketua Fraksi PKS DPR ini mengatakan pihaknya menolak rencana kenaikan BBM yang akan dilakukan oleh pemerintah. Pasalnya, permasalahan bahan bakar minyak (BBM) ini ibarat bom waktu namun pemerintah tidak siap menghadapinya.
“Kebijakan pemerintah menaikan harga BBM merupakan kebijakan paling mudah. Padahal masih banyak strategi yang bisa dilakukan. Misalnya mendorong penurunan konsumsi BBM dengan mendorong peningkatan layanan transportasi umum, peningkatan pajak kendaraan mewah, mendorong penggunaan mobil listrik,” jelasnya.
Selain itu, kata Sukamta, bisa juga dengan subsidi terbatas. Misalkan, berdasarkan data GAIKINDO dari rata-rata penjualan kendaraan roda empat dan lebih mulai dari LCGC, truk, bus, pickup mencapai 40 persen dari total penjualan.
Menurutnya, segmen inilah yang seharusnya Pemerintah tetap memberikan subsidi kepada kendaraan yang menggerakan ekonomi masyarakat dan kelas menengah ke bawah.
“Cara pemerintah mencabut subsidi tanpa melihat kemampuan masyarakat bawah yang menggunakan pertalite untuk transportasi kendaraan bermotor, akan menambah sengsara rakyat di tengah pemulihan kondisi ekonomi pasca pandemi. Dampaknya jumlah angka kemiskinan, gizi buruk akan meningkat,” kata anggota komisi I DPR ini. (Bie)