Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi I DPR Sukamta menyebut penanganan Covid-19 amburadul jadi bukti biosecurity Indonesia lemah. Maka dari itu untuk menambal kelemahan ini seluruh elemen bangsa harus bersatu.
Pernyataan wakil ketua Fraksi PKS Bidang Polhukam di DPR ini berdasarkan beberapa data dan fakta yang terjadi di Indonesia.
Lebih lanjut Sukamta memaparkan beberapa data dan fakta tersebut. Pertama, Indonesia belum memasukkan biosecurity dalam Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan.
“Akibatnya tidak ada lembaga khusus yang menangani biosecurity di Indonesia sehingga ketika Covid-19 pertama kali muncul di Wuhan, China, tidak ada langkah-langkah jelas dalam mencegah masuknya virus tersebut,” kata Sukamta dalam keterangan tertulisnya, Senin (28/9/2020).
Kedua, berdasarkan penilaian dari Global Health Indexs (GHI) nilai Indonesia dalam biosecurity mendapatkan skor 8 dari rata-rata skor biosecurity dunia yaitu 16. “Angka ini membenarkan beragam kejadian dilapangan ketika pencegahan Covid-19 yang tidak jelas polanya,” jelasnya.
Ketiga, terkait dengan biosecurity menurut doktor lulusan Inggris faktor kesiapsiagaan kondisi darurat kesehatan Indonesia juga lemah. Mulai dari respon terhadap suatu penyakit atau virus hingga pelatihan berkala dalam menghadapi kondisi darurat.
Maka tidak mengherankan GHI memberikan skor nol pada pelatihan berkala dalam rencana respons terhadap suatu penyakit atau virus dan skor 12,5 pada perencanaan responnya.
“Skor Indonesia masih dibawah dari rata-rata skor respon dunia mencapai 16,9,” ungkapnya.
Anggota dewan asal daerah pemilihan Yogyakarta ini kemudian menyoroti tentang pengendalian penyebaran virus Covid-19 dan ketersediaan peralatan kesehatan sebagai bagian dari mempertahankan kedaulatan negara.
“Sejak awal Covid-19 muncul di Wuhan, saya sudah memperingatkan pemerintah untuk memperketat penjagaan dan pengawasan di pintu-pintu masuk Indonesia namun pemerintah malah menggencarkan kampanye untuk menarik wisatawan luar negeri. Koordinasi dan kebijakan dalam pengendalian virus kita lemah. Banyak yang terlibat namun ego sektoralnya kuat,” paparnya.
Sukamta juga mendorong Kemhan/ TNI dan Badan Inteljen Negara untuk berperan aktif menangkal masuknya virus Covid-19 ke Indonesia. Sebab, Covid-19 ini sejak awal kemunculan, kemudian penyebaran dan karakteristik virus mengarah ke senjata biologis.
“Maka sudah menjadi tugas Kemhan/ TNI dan BIN untuk mengantisipasinya, sebagaimana ditegaskan di dalam UU Nomor 23/2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Negara,” katanya.
Terkait dengan pihak-pihak yang memanfaatkan situasi di Indonesia dengan saling menyerang dan menjatuhkan, alumni Universitas Gadjah Mada (UGM) ini memiliki pesan yang menyejukan dan membuat kita bersemangat sebagai rakyat.
“Biosecurity kita lemah, penanganan amburadul, pencegahan tidak jelas selama Covid-19 melanda Indonesia. Sudah banyak korban jiwa, nyawa ratusan tenaga medis yang berjuang di garis depan tidak boleh sia-sia. Saatnya kita bersatu bukan saling menjatuhkan, menyingkirkan sesama elemen bangsa. Virus Covid-19 ini musuh kita bersama, musuh bangsa Indonesia sehingga sudah menjadi kewajiban semua pihak untuk bergandeng tangan, saling menguatkan, mendukung agar bersama-sama kita bisa melewati ujian ini,” katanya.
Sukamta kemudian mengingatkan, menghadapi ancaman yang berpotensi seperti perang biologis ini, sesuai dengan amanat dalam UU Nomor 23 Tahun 2019 Tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional (PSDN), rakyat Indonesia juga memiliki tanggung jawab dalam Pertahanan Negara. Walaupun dalam tugas pertahanan, peran, tujuan dan fungsi sebagai lini pertama dalam sistem keamanan nasional diberikan kepada BIN seperti tertuang dalam UU Nomor 17 Tahun 2011 Tentang Intelijen Negara serta peran utama TNI sebagai alat pertahanan negara menurut UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
“Sekali lagi saya ajak dan tekankan, sebagai bagian dari bangsa Indonesia kita harus bersatu padu mempertahankan kedaulatan negara bersama-sama dengan berbagai elemen bangsa termasuk BIN dan TNI. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh,” tegasnya.
Sampai dengan tanggal 27 September 2020, tercatat 275.213 kasus positif Covid-19 dimana 10.386 orang telah meninggal dunia akibat COVID-19 di Indonesia.
Sebagai informasi tambahan, pernyataan Ketua DPP PKS Bidang Pembinaan dan Pengembangan Luar Negeri (BPPLN PKS) mengenai Indeks Keamanan Kesehatan Global (GHS) berasal dari laporan terbaru dari GHS yang dirilis tahun 2019.
GHS merupakan penilaian komprehensif pertama dan tolok ukur keamanan kesehatan dan kapabilitas terkait di 195 negara mengikuti Peraturan Kesehatan Internasional (IHR [2005]).
Indeks GHS merupakan proyek bersama dari Nuclear Threat Initiative (NTI) dan Johns Hopkins Center for Health Security (JHU) dan dikembangkan bersama The Economist Intelligence Unit (EIU).
Organisasi-organisasi ini percaya bahwa, seiring waktu, Indeks GHS akan mendorong perubahan terukur dalam keamanan kesehatan nasional dan meningkatkan kemampuan internasional untuk mengatasi salah satu risiko yang paling ada di mana-mana di dunia: wabah penyakit menular yang dapat menyebabkan epidemi dan pandemi internasional.
(Bie)