Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi III DPR, Supriansa, enggan meributkan desakan dibentuknya Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket PT Asuransi Jiwasraya yang diusulkan oleh Fraksi Partai Demokrat (FPD) dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS).
Ia juga tidak sepakat penilaian FPD yang membandingkan usulan pembentukan Pansus Jiwasraya dengan Pansus Century yang dibentuk angggota DPR periode 2009-2014. Pasalnya, kata dia, jika dibandingkan antara kasus century dan kasus jiwasraya itu sangat berbeda.
“Olehnya itu, proses pengawalan DPR pun harus di sesuaikan dengan konteks masalahnya,” ujar Supriansa di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (13/2/2020).
Lebih lanjut politisi Partai Golkar ini menjelaskan bahwa Pansus Hak Angket Century dulu di bentuk karena lebih cepat proses politik di DPR dibanding dengan langkah hukum yang di ambil oleh lembaga penyidik. Sehingga dibuatlah Pansus dengan rekomendasi akan di lakukan penyidikan kasus century oleh lembaga penyidik.
Selanjutnya beda dengan kasus jiwasraya karena lebih cepat aparat penegak hukum bekerja, bahkan sudah menetapkan tersangka dibanding langkah politik yang diambil oleh DPR.
Sebab itu, Supriansa menilai Panja di Komisi III, VI dan XI adalah kebijakan politik yang di ambil oleh DPR sangat tepat karena bisa melakukan pengawalan, sekaligus bisa membantu penyidik dalam hal ini Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam mengungkap siapa-siapa yang terlibat di dalam kasus jiwasraya.
“Dan apabila penyidik mengalami kesulitan dalam menembus hal-hal yang di anggap vital, maka bisa meminta bantuan kepada lembaga DPR untuk membantu menemukan solusinya. Sesuai kekuatan politik yang di milikinya,” katanya.
Anggota Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR ini juga menghimbau jika ada masyarakat atau anggota DPR atau siapapun yang menemukan hal-hal yang patut di jadikan sebagai bukti bagi Kejagung, untuk membuka lebar masalah Jiwasraya ini, silahkan memberi bukti kepada penyidik agar di proses lebih lanjut.
“Yang ingin saya sampaikan, jangan terkesan Kejaksaan tidak bisa membuka selebar-lebarnya masalah ini jika hanya di kawal dengan Panja. Itu tidak tepat karena Panja memiliki kekuatan secara politik untuk memberikan pengawalan dan pengawasan terhadap Kejaksaan dalam memproses kasus jiwasraya ini,” jelasnya.
Sebagai anggota Panja dari komisi III, Supriansa membuka diri kepada seluruh masyarakat yang memiliki pengetahuan atau bukti terkait masalah Jiwasraya ini. “Silahkan berikan kepada saya buktinya. Nanti saya serahkan kepada lembaga penyidik jika kalian tidak berkesempatan menyerahkan,” katanya.
Mantan Wakil Bupati Soppeng ini menambahkan yang terpenting saat ini adalah berilah kepercayaan kepada Kejagung untuk mengungkap masalah Jiwasraya ini.
“Sekaligus kita berharap agar uang nasabah yang ada di dalamnya bisa di kembalikan. Saya rasa tidak perlu ribut soal nama Panja atau Pansus. Yang terpenting mari kita kompak untuk membongkar masalah asuransi jiwasraya ini siapapun yang terlibat,” pungkasnya berharap.
Sebelumnya, anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat Sartono Hutomo menyatakan bahwa fraksinya di DPR mengusulkan pembentukan Pansus Jiwasraya karena adanya desakan dari rakyat kepada DPR untuk menuntaskan mega skandal ini.
“Penyelesaian kasus mega skandal Jiwasraya melalui Pansus untuk selamatkan negara dari krisis yang lebih besar,” ujar Sartono Hutomo di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (11/2/2020).
Anggota Komisi VII DPR ini menganalogikan Panja layakya orang yang di suruh nyelam 500 meter hanya di modali baju renang. Kalau dalam bentuk Pansus, maka untuk mendapatkan harta karun di kedalaman laut, di lengkapi dengan perlengkapan scuba diving tabung oksigen. Maka orang tersebut bisa leluasa aman untuk mendapatkan benda-benda yang di cari.
“Jangan alergi lah DPR ini dengan Pansus. Zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono SBY) saja DPR empat kali bentuk Pansus,” katanya.
Lebih lanjut Sartono mengatakan wewenang Panja lemah dalam melakukan penyelidikan skandal yang merugikan negara sekitar Rp 13 triliun itu. Sementara dengan Pansus, DPR bisa leluasa menggunakan instrumen dan hak politiknya.
“Ada tiga Panja Komisi. Kalau Pansus jadi satu. Kalau mau panggil Kejaksaan bisa langsung. Kalau sekarang kan sendiri-sendiri. Siapa sih sutradara dari skandal ini, untuk apa saja uangnya. Pengembalian uang nasabahnya seperti apa? Kalau Pansus itu bisa menyeluruh, tuntas,” paparnya.
Menurut legislator asal Jawa Timur ini, pembentukan Pansus ini untuk memulihkan kepercayaan dunia keuangan, baik nasional maupun internasional.
“Keseriusan negara bagaimana menyikapi mega skandal ini dipertanyakan. Apakah begitu-begitu saja? Kalau serius direspon dengan Pansus. Panja itu bentuk tidak serius,” tegasnya.
Anggota Mahkamah Kehormatan Dewan ini menambahkan terjadinya skandal ini karena pemerintah terlambat menjalankan kewajibanya untuk membentuk lembaga penjamin polis. Padahal apabila Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 yang sudah di tanda tangani Presiden ke 6 SBY pada Oktober 2014 diindahkan dan dilaksanakan, maka paling lambat Oktober 2017, Indonesia sudah punya lembaga penjamin polis.
“Semua ini tidak jalan dengan relnya. Anggap saja ada OJK, kemana? Kalau UU itu di implementasikan tidak akan terjadi mega skandal Jiwasraya ini. Kalau dengan Pansus itu lebih paripurna,” pungkasnya. (Bie)
Editor: Bobby