Jakarta, JurnalBabel.com – Berbagai pihak mendesak agar Presiden Joko Widodo atau Jokowi segera mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) mengenai Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK. Hal ini bertujuan membatalkan UU KPK hasil revisi yang dinilai sangat melemahkan lembaga antirasuah itu. Namun hingga kini, Presiden belum mengambil sikap.
Perppu KPK ini pun menjadi polemik di masyarakat. Bahkan di kalangan wakil rakyat di parlemen. Ada yang mengusulkan agar UU KPK hasil revisi itu cukup di uji materikan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Tidak perlu sampai Presiden keluarkan Perppu. Lalu ada yang mengusulkan Presiden keluarkan Perppu.
Ada juga yang usulkan UU KPK hasil revisi ini dimasukkan dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2019-2020. Artinya UU tersebut kembali dilakukan revisi. Namun pembahasannya harus melibatkan masyarakat. Tidak boleh seperti anggota DPR periode 2014-2019 yang melakukan pembahasan revisi UU KPK secara diam-diam.
Anggota DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN) Haji Lulung Lunggana dan anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar Christina Aryani yang juga kebetulan keduanya sebelum menjadi anggota DPR periode 2019-2024 berprofesi sebagai advokat, menjabarkan sekaligus menjawab apakah Presiden perlu keluarkan Perppu KPK atau tidak.
Haji Lulung lebih menyarankan pihak-pihak yang tidak setuju dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau UU KPK hasil revisi mengajukan gugatan judical review atau uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Pasal, lanjut Haji Lulung, permintaan kalangan mahasiswa, aktivis anti korupsi, akademisi yang mendesak Presiden Jokowi, belum tentu sesuai dengan keinginannya. Lebih lanjut Haji Lulung mengatakan bahwa langkah tersebut merupakan jalur hukum yang difasilitasi oleh negara kepada rakyatnya.
“Mekanisnenya ada upaya hukum ke MK. Saya serahkan ke MK,” kata Haji Lulung saat dihubungi, Minggu (6/10/2019).
Menurut mantan wakil ketua DPRD DKI Jakarta periode 2014-2019 ini, UU KPK hasil revisi sudah disahkan menjadi UU oleh pemerintah dan DPR. Sehingga mekanismenya adalah mengajukan gugatan ke MK. Namun, ia setuju dengan adanya dewan pengawas di dalam KPK seperti yang diatur dalam UU KPK yang baru.
“KPK tidak super body nggak ada yang awasi. Ngapain sih? Anggaran di buang ke rakyat tidak cukup diawasi Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK. Masyarakat juga harus ikut awasi,” ujarnya.
Apabila nantinya Presiden Jokowi keluarkan Perppu KPK, kata Haji Lulung, belum tentu nantinya fraksi-fraksi di DPR menerimanya. Sehingga ia juga meminta semua pihak menunggu pemerintah atau presiden keluarkan perppu.
Senada Christina Aryani mengatakan lebih baik dilakukan judicial review ke MK dibanding mengeluarkan Perppu. Dijelaskannya, syarat Perppu itu hal ihwal kegentingan memaksa. MK dalam putusannya pernah memberikan parameter yang termasuk dalam kegentingan memaksa, antara lain: ada kekosongan hukum, kekosongan tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU karena prosesnya akan terlalu lama.
“Kita lihat menjadi kurang pas untuk menyatakan saat ini ada kegentingan memaksa tersebut,” kata Christina Aryani.
Dia menambahkan, judicial review bisa menguji tidak hanya dari materinya (pasal yang diindikasikan bermasalah), namun juga dari proses formil pembuatannya. “Pemohon tinggal mengajukan argumentasinya, hakim MK akan menjalankan tugas dan kewenangannya,” pungkas mantan kuasa hukum Jokowi-Ma’ruf Amin di Pilpres 2019 ini. (joy)
Editor: Bobby