JurnalBabel.com – Prof. Dr. Suparji Achmad, SH., MH. yang kerap disapa Suparji, tentu tidak asing lagi bagi dunia hukum. Ia sering tampil di berbagai televisi nasional. Berbagai pendapatnya sangat menarik untuk didengarkan terkait kasus-kasus yang ada di Indonesia.
Suparji merupakan Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Al Azhar Indonesia sekaligus pakar hukum pidana. Tapi siapa sangka, ia yang merupakan seorang pakar hukum dan guru besar dengan gelar profesor tersebut memiliki orang tua yang tidak bisa baca tulis.
Dikutip dari berbagai sumber, Suparji lahir pada 20 Februari 1972 di pelosok Kabupaten Sukoharjo, tepatnya di Desa Karakan, Kecamatan Weru. Ia bungsu dari delapan bersaudara dari pasangan Wito Miharjo (alm) dan Jinem (alm) di pelosok Sukoharjo.
Ayah Suparji, Wito sehari-hari bekerja keras mengayuh becaknya untuk menghidupi dan menyekolahkan Suparji. Sementara, Jinem berjualan tempe sembari sebagai ibu rumah tangga.
“Orang tua saya bahkan tidak mengerti tentang baca tulis. Dengan kondisi demikian, itu menjadi bara yang terus menyala dalam dada saya untuk bisa membahagiakan mereka, hingga sekarang bisa menjadi guru besar,” kata Suparji.
Oleh karena itu, ia berpesan kepada seluruh lapisan masyarakat untuk tidak menyerah pada keadaan. Kondisi yang kita alami hari ini, kata Suparji, tidak bisa menjadi alasan untuk tidak mengejar impian.
Tentu saja kisahnya yang seorang bocah penggembala kambing yang senang membawa buku catatan kecil, lalu empat puluh tahun kemudian menjadi guru besar sangat menginspirasi.
Meski hidup di tengah keterbatasan, kedua orang tua Suparji mengajarkan ketekunan dan keikhlasan kepada Suparji kecil. Dengan didikan orang tua dan guru di sekolah, Suparji kecil tumbuh menjadi anak yang cerdas dan mandiri.
Di sela waktu sekolahnya, ia membantu orang tuanya dengan menggembala kambing sembari membawa buku catatan kecil untuk belajar.
“Saya ini cuma wong ndeso angon weduz (orang desa, memelihara kambing), orang tua tidak bisa baca tulis, tapi alhamdulillah bisa dikukuhkan menjadi guru besar ilmu hukum,” ujarnya.
Melanjutkan pendidikan tinggi nyaris mustahil bagi anak tukang becak seperti Suparji di zaman itu. Namun tekad Suparji untuk mengubah keadaan jauh lebih besar dari keterbatasan yang merintang.
Suparji meyakini bahwa mengubah keadaan harus dimulai dari pendidikan.
Tekad ini yang membawanya hijrah ke Semarang untuk melanjutkan studi strata satu di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.
Demi bertahan hidup di Semarang, Suparji pernah menjadi penjajak produk di swalayan hingga berjualan roti dan ia terus melanjutkan pendidikannya hingga menjadi doktor.
Suparji mulai mengajar sebagai dosen di Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia pada tahun 2007 dan telah dikukuhkan sebagai Guru Besar.
Sebagai pakar hukum pidana, Suparji tercatat pernah menjadi ahli dalam ratusan perkara. Sudah banyak karya ilmiah di bidang hukum yang ia hasilkan. (Bie)
Sumber: reqnews.com