JAKARTA, JURNALBABEL – Mantan Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Agama dan Kepercayaan Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), Romo Benny Susetyo menegaskan menolak rencana DPR dan pemerintah memasukan sekolah minggu dan katekis masuk dalam RUU Pesantren.
Pasalnya, pengaturan seperti ini bertentangan dengan konstitusi. Bahkan, menurut Romo Benny, menghadirkan pasal terkait sekolah minggu dan ketekis di RUU Pesantren merupakan sebuah kekeliruan besar. “Lebih baik pasal itu dihapus karena berbeda dan tidak perlu diatur,” tegas Romo Benny.
Karenanya, DPR dan pemerintah diharap tidak boleh mengatur dan membatasi praktik yang diyakini sebagai bentuk ibadah dalam setiap agama.
Kepada wartawan Romo Benny menegaskan, pesantren dan sekolah minggu merupakan dua hal berbeda. Dua hal yang berbeda tersebut tidak boleh diatur dalam satu undang-undang. Jika hal ini tetap dilakukan, akan berakibat pada terganggu proses mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
“Menurut saya sekolah minggu dan katekis tidak usah diatur tidak sama pesantren, bagian ibadat,” kata Benny di Jakarta, Jumat (26/10).
Dia menambahkan, DPR bersama pemerintah perlu memahami secara lebih dalam tentang sekolah minggu serta katekis.
Dengan demikian, pemerintah dan terutama DPR tidak membuat rancangan undang-undangan yang bertentangan subyek hukum yang diatur dalam undang-undang tersebut.
DPR telah menetapkan RUU Pesantren dan Pendidikan sebagai rancangan undang-undang yang siap dibahas bersama pemerintah melalui kementrian terkait.
Adapun pasal dalam RUU tersebut yang dianggap kontroversial yakni pasal 69. Beberapa poin dalam pasal tersebut antara lain ayat(1) menyebutkan bahwa Sekolah Minggu dan Katekisasi termasuk jalur pendidikan non-formal agama Kristen.
Dalam Ayat (3) menyebutkan, jumlah peserta didik pendidikan non-formal agama Kristen itu paling sedikit 15 orang. Sementara itu, dalam ayat (4) menyatakan, penyelenggaraan sekolah minggu harus mendapat izin dari pemerintah Kabupaten/Kota.
Pos Anggaran Pesantren dan Sekolah Minggu Beda
Lebih lanjut Benny menjelaskan, antara pesantren dan sekolah minggu merupakan dua wilayah yang berbeda. Pesantren merupakan pendidikan formal sementara sekolah minggu merupakan bentuk pendidikan non formal yang diberikan gereja kepada anak-anak dan remaja.
Sumber anggaran pesantren dan sekolah minggu juga berbeda. “Menyangkut angaran karena sekolah minggu dan katekis tidak seperti pondok pesantren,” jelas Benny.
Ia juga mengatakan, sekolah minggu dan katekisa merupakan proses interaksi yang memiliki nilai pendidikan yang dilakukan oleh seluruh gereja di Indonesia.
Sekolah minggu dan katekis juga merupakan bagian dari pelayanan ibadah kepada anak-anak dan remaja. Karena itu, pembiyaannya murni dari gereja dan partisipasi aktif umat.
Melihat perbedaan dari bentuk kedua hal tersebut di atas, Romo Benny menilai , agak keliru ketika DPR mau mengatur proses pendidikan non formal ke dalam aturan resmi negara.
Pengaturan melalui undang-undang terhadap sekolah minggu yang bersifat non formal dan kegiatan ibadah akan berpotensi terjadinya intervensi negara terhadap hal privat warga negara.
Sementara itu, syarat pendirian pendidikan keagamaan yang dimasukan dalam RUU tersebut yakni peserta didik paling sedikit 15 orang dan harus mendapatkan ijin dari Kanwil Kementerian Agama Kabupaten/Kota.
Pengaturan seperti ini tidak sesuai dengan model pendidikan anak-anak dan remaja gereja-gereja di Indonesia. (*/shl)