Jakarta, JurnalBabel.com – Guru besar ilmu hukum Universitas Al Azhar Indonesia (UAI), Prof. Suparji Ahmad, meminta Komisi III DPR mengkaji ulang kewenangan Jaksa hanya menjadi penyidik kasus tindak pidana pelanggaran HAM berat dalam draf Rancangan Undang-Undang Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP).
Sebab, pada pasal 6 ayat 1 draf RUU KUHAP tersebut berbunyi: Penyidik terdiri atas penyidik Polri, PPNS, dan penyidik tertentu.
Sementara dalam penjelasan pasal 6, disebutkan bahwa: Yang dimaksud dengan “Penyidik Tertentu” adalah Penyidik Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Penyidik perwira Tentara Nasional Indonesia angkatan laut yang memiliki kewenangan melakukan Penyidikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang perikanan, kelautan, dan pelayaran pada wilayah zona ekonomi eksklusif dan Jaksa dalam tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia berat.
Menurut Prof. Suparji, penyidik dari Kejaksaan masih sangat diperlukan untuk menyidik kasus tindak pidana korupsi atau Tipikor. Apalagi, korupsi masih menjadi musuh bersama sehingga perlu banyak energi untuk memberantasnya.
Sebab itu, tegas Suparji, revisi UU KUHAP seharusnya dibuat untuk memperkuat penyidikan Tipikor. Terlebih, penyidik Kejaksaan dalam Tipikor telah bertugas secara produktif.
“Rumusan KUHAP hendaknya memperbaiki kelemahan dalam penyidikan Tipikor. Bukan mengurangi kewenangan lembaga,” tegas Prof. Suparji saat dihubungi wartawan, Sabtu (15/3/2025).
Lebih lanjut Prof. Suparji mengatakan, mekanisme kerja antara penyidik dan jaksa tidak dapat dipisahkan dalam menegakkan hukum pidana.
Menurutnya, kondisi kerja yang kolaboratif antara penyidik dan jaksa ini yang harus diatur secara jelas dalam revisi KUHAP mendatang.
“Jadi dalam sistem peradilan pidana nantinya yang melakukan kontrol atas kerja penyidik dan jaksa adalah Hakim (Pengadilan) sebagai pemegang kekuasaan yudikatif. Konsep mekanisme kerja yang kolaboratif sebenarnyalah yang cocok bagi bangsa Indonesia yang berpaham integralistik, artinya bisa bekerja bersama-sama secara gotong royong,” pungkasnya.
Sementara itu, Ketua Komisi III DPR Habiburokhman, meluruskan kalau draf RUU KUHAP yang mengatur kewenangan jaksa hanya jadi penyidik kasus HAM bukan hasil akhir.
Dia lantas memberikan draf hasil akhir terkait ‘penyidik tertentu’ yang tidak mengatur kewenangan jaksa.
“Draf terakhir yang seharusnya terakhir tertulis penyidik tertentu misalnya penyidik KPK, penyidik kejaksaan, atau Penyidik OJK, sebagaimana diatur dalam undang-undang,” kata Habiburokhman kepada wartawan, Sabtu (15/3/2025).
Habiburokhman menegaskan dalam RUU KUHAP tidak ada mengatur kewenangan institusi dalam memeriksa dan menyelidiki kasus.
Ia menekankan KUHAP akan menjadi pedoman dalam proses pidana bukan mengatur tentang kewenangan terhadap tindak pidana tertentu yang diatur dalam undang-undang di luar KUHP atau KUHAP.
“Draf RUU KUHAP juga tidak mencabut undang-undang di luar atau materiil manapun sepanjang tidak mengatur acara pidana yang diatur dalam KUHAP,” ujarnya.
Berikut penjelasan ‘penyidik tertentu’ berdasarkan draf terakhir:
“Yang dimaksud dengan ‘Penyidik Tertentu’ misalnya Penyidik Tertentu Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), Penyidik Tertentu Kejaksaan dan Penyidik Tertentu Otoritas Jaksa Keuangan (OJK),”