Jakarta, JurnalBabel.com — Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PKS, Amin Ak, menyampaikan pandangan kritis terhadap kesepakatan dagang terbaru antara Indonesia dan Amerika Serikat.
Menurut Amin Ak, pemerintah patut diapresiasi karena berhasil menurunkan ancaman tarif tersebut menjadi 19%, langkah yang jelas menghindarkan potensi tekanan serius terhadap daya saing produk ekspor Indonesia.
Namun demikian, Ia menilai keberhasilan ini harus dibayar dengan harga sangat mahal dan karena minimnya timbal balik yang adil bagi Indonesia.
Menurut Wakil Ketua Fraksi PKS tersebut, kesepakatan ini bukan tanpa ongkos. Indonesia menyepakati pembelian energi dari Amerika senilai USD 15 miliar, produk pertanian sebesar USD 4,5 miliar, dan pembelian 50 unit pesawat Boeing. Totalnya mencapai USD 34 miliar atau sekitar Rp 552 triliun.
“Ini akan menguras devisa karena belanja negara yang sangat besar. Karena itu, saya berharap para pembantu Presiden bisa mengedepankan kehati-hatian agar kedaulatan ekonomi Indonesia tidak tergerus,” tegas Amin dalam keterangannya, Kamis (18/7/2025).
Ia juga menyoroti ketimpangan dalam struktur kesepakatan tersebut. Sementara ekspor Indonesia ke AS tetap dikenai tarif 19%, produk-produk AS—mulai dari gandum, jagung, hingga pesawat—bisa masuk ke Indonesia tanpa bea masuk yang sepadan.
“Di mana prinsip keadilan dagang atau resiprokal yang selama ini digaungkan Trump sendiri. Tarif 19% harus dibayar dengan membuka pasar kita bagi Amerika. Padahal, negara tetangga seperti Singapura hanya dikenai tarif 10%,” lanjutnya.
Namun demikian, Ia memahami kondisi tim negosiator Indonesia yang berada dibawah tekanan sehingga kesepakatan ini adalah bentuk kompromi, meskipun perjanjian ini tidak memperkuat kedaulatan ekonomi nasional.
Terkait langkah ke depan, Amin mendorong tim yang dikomandoi Kementerian Perekonomian untuk bersikap lebih transparan dan strategis. Ia mendesak agar seluruh isi kesepakatan diumumkan secara terbuka, termasuk kemungkinan adanya klausul tersembunyi terkait akses asing terhadap pengadaan publik, integrasi sistem pembayaran asing ke dalam QRIS, hingga pelonggaran standar halal.
“Perlu juga dinegosiasikan ulang agar resiprokal tarif lebih adil dan bersifat timbal balik. Kalau ekspor kita dikenakan 19%, maka produk AS juga perlu dikenai tarif serupa atau diberi preferensi seperti yang diterima negara ASEAN lainnya,” ujarnya.
Amin mengingatkan, pembelian besar-besaran produk AS terutama sektor pangan dan energi, selain berdampak bagi neraca perdagangan, juga berpotensi memukul sektor produksi dalam negeri.
“Kesepakatan ini jangan sampai membuat kita terlena. Ini bukan akhir, tapi awal dari tantangan baru. Kita harus memastikan bahwa keringanan tarif hari ini tidak berubah menjadi ketergantungan pangan dan energi di masa depan,” pungkasnya.