Jakarta, JurnalBabel.com – Pakar komunikasi politik, Hendri Satrio (Hensa), menilai peringatan Hari Guru Nasional ke-80 yang jatuh pada 25 November 2025 seharusnya tidak hanya menjadi ajang puji-pujian terhadap kualitas pengajar, melainkan juga momen untuk membahas secara serius kehidupan guru beserta keluarganya.
“Bicara guru itu bukan tentang hanya bicara kualitas guru saja, tapi juga tentang kehidupan para guru. Kehidupan guru itu termasuk kehidupan keluarga para guru,” kata Hensa kepada wartawan, Selasa (25/11/2025).
Menurut Hensa, beban hidup para guru masih sangat berat, terutama bagi guru honorer dan mereka yang penghasilannya belum sepadan dengan pengabdiannya.
“Kehidupan para guru atau kehidupan keluarga guru itu tidak semudah yang dibicarakan. Persoalan guru honorer misalnya atau guru-guru yang masih mendapatkan penghasilan yang belum setara dengan pengabdiannya itu luar biasa berat tekanannya,” ungkapnya.
Hensa mengaku memahami betul kondisi tersebut karena kedua orang tuanya adalah guru.
Ia mencontohkan, anak-anak dari keluarga guru juga harus menjalani kehidupan layak seperti anak-anak lain. Mulai dari biaya sekolah, makan bergizi, hingga kebutuhan berkreasi, yang di mana hal itu merupakan hal yang sering kali sulit dipenuhi bagi para anak guru.
“Dan keluarga guru, seperti misalnya anak-anak guru, itu kan harus menjalani kehidupan seperti layaknya anak-anak lainnya. Mereka bersekolah, memakan makanan bergizi, butuh juga berkreasi, nah bagi keluarga atau buat anak guru itu tidak mudah,” papar Hensa.
Lebih lanjut, Hensa menekankan, definisi “guru” tidak boleh terbatas pada tenaga pengajar di sekolah formal.
“Belum lagi bukan saja guru-guru yang di level SD, SMA, SMK, guru-guru lain yang berhak menyandang predikat guru, misalnya dosen, not to mention guru mengaji itu repot juga,” ucapnya.
“Jadi pada saat bicara guru, kita tidak hanya bicara tentang guru di sekolah-sekolah formal, tapi kita juga bicara tentang guru di kehidupan atau di kegiatan informal lainnya, yang kehidupannya masih tough secara ekonomi,” lanjutnya.
Oleh karena itu, di momen Hari Guru Nasional tahun ini, Hensa berharap pemerintah tidak hanya fokus pada guru di lembaga pendidikan formal, tetapi juga mulai serius membahas nasib guru-guru di lembaga informal.
“Maka di hari guru ini, saya mengharapkan bahwa selain tentang guru-guru di sekolah formal, tapi juga pemerintah mulai membicarakan guru-guru yang juga hadir di lembaga-lembaga informal seperti guru mengaji, guru silat, dan guru-guru honorer,” katanya.
Selain masalah ekonomi, para guru juga masih dibebani tugas administrasi yang berat, yang di mana itu seharusnya bisa digunakan untuk istirahat, mengajar lebih optimal, atau sekadar mencari tambahan penghasilan demi memenuhi kebutuhan keluarga. Sehingga, beban administratif ini pada akhirnya turut memperberat kondisi ekonomi dan kesejahteraan guru secara keseluruhan.
“Belum lagi, selain harus menghadapi kehidupan yang tidak mudah, mereka juga harus dihadapkan dengan beban paperwork yang lumayan banyak,” tambah Hensa.
Ia pun menyampaikan harapan besar agar pemerintah mengeluarkan kebijakan yang konkret untuk memperbaiki kesejahteraan guru secara menyeluruh.
“Nah, jadi semoga saja di hari guru ini, pemerintah bisa mengeluarkan kebijakan yang bukan saja nyaman, untuk memperbaiki ekonomi guru, tapi juga memperbaiki kehidupan keluarga guru, termasuk guru-guru yang tidak hanya terdaftar di lembaga pendidikan formal,” pungkas Hensa.
