Jakarta, JurnalBabel.com – Presiden Joko Widodo hingga kini belum memberikan sikap atas dorongan berbagai kalangan agar segera mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau Perppu mengenai Komisi Tindak Pidana Korupsi atau KPK. Hal ini untuk membatalkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK hasil revisi oleh DPR dan pemerintah.
Jangka waktu UU KPK hasil revisi ditanda tangani Presiden tinggal sampai 17 Oktober 2019 atau tiga hari sebelumnya Presiden Jokowi dilantik untuk kedua kalinya pada 20 Oktober 2019. Berdasarkan Pasal 72 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (“UU 12/2011”), RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi Undang-Undang.
Lebih lanjut diatur bahwa penyampaian RUU dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama (Pasal 72 ayat (2) UU 12/2011). Kemudian, menurut Pasal 73 ayat (1) UU 12/2011, RUU itu disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak RUU tersebut disetujui bersama oleh DPR dan Presiden.
Dalam hal RUU tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak RUU tersebut disetujui bersama, RUU tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan [Pasal 73 ayat (2) UU 12/2011].
Perppu disebutkan dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang berbunyi “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.”
Penetapan Perppu yang dilakukan oleh Presiden ini juga tertulis dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (“UU 12/2011”) yang berbunyi “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.”
Dari kedua pasal di atas bahwa syarat presiden mengeluarkan Perppu adalah dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Pertanyaanya kini adalah seberapa urgensinya Presiden Joko Widodo menerbitkan Perppu KPK? Hal itu dibahas tuntas dalam kuliah umum “menimbang urgensi Perppu KPK” dengan tiga narasumber di Universitas Al Azhar Indonesia, Kamis (10/10/2019) malam.
Mereka adalah Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Al Azhar Indonesia Suparji Achmad, Dosen Hukum Tata Negara Universitas Pancasila Muhammad Rullyandi, Dosen Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana Firman Wijaya.
Kuliah umum ini di buka oleh Suparji Achmad. Ia mengatakan jangan sampai Presiden Jokowi dalam posisi genting dan tidak nyaman dalam keluarkan Perppu. Pasalnya, selama masih ada solusi lain maka jangan terjebak keluarkan Perppu. Selain itu akan berdampak negatif di masa mendatang bahwa akan mudah sekali masalah diselesaikan dengan Perppu.
Suparji juga menilai aksi demo mahasiswa, aktivis anti korupsi yang mendesak Jokowi keluarkan Perppu hingga memakan korban jiwa, tidak cukup kuat disebut ada kegentingan memaksa. “Sisi lain, substansi apakah dengan Perppu atau tidak ada sarana lain untuk itu,” kata Suparji Achmad.
Narasumber selanjutnya Firman Wijaya mengatakan bahwa dalam tradisi di negara manapun, belum pernah melihat Perppu menjadi pilihan yang mudah. Perppu juga sering kali melahirkan polemik yang dilematis. Menurutnya, pemerintah dalam hal ini Presiden dalam keluarkan Perppu berada dalam dua keberpihakan dua kekuatan besar. Yakni kepentingan publik dan politik.
Lebih lanjut Firman Wijaya yang juga berprofesi sebagai advokat ini menilai kegentingan memaksa tidak mudah klarifikasinya. Meskipun ia mengakui secara de jure maka UU KPK hasil revisi sudah menjadi UU. Namun secara de facto belum teruji pasal-pasal baru yang di atur dalam UU KPK hasil revisi.
Dijelaskan Firman bahwa Perppu memang sesuatu yang perlu diukur dari aspek filosofis, yuridis, sosiologis dan politis. “Empat aspek ini penting. Suara terbesar itu suara keadilan. Bukan masyarakat,” kata Firman Wijaya.
Firman Wijaya menambahkan bahwa harus ada ukuran yang jelas apabila ada pihak yang ingin untuk gugat ke MK. Jangan hanya karena faktor emosional. “Bagi saya produk legislasi mau dibuat parlemen atau Mahkamah semuanya gunakan instrumen hukum. Harus cermat betul dalam legislasi,” tuturnya.
Narasumber terakhir Muhammad Rullyandi mempertanyakan apakah dalam revisi UU KPK bertentangan dengan konstitusi? Ia menjawab tidak bertentangan sama sekali dengan konstitusi. Ia juga menilai sama sekali tidak ada niat dari pemerintah dan DPR melemahkan, justru memperkuat KPK. “Tidak ada melemahkan KPK,” tegas Rullyandi.
Ia mencontohkan keberadaan dewan pengawas. Menurutnya, penegak hukum dilarang menjebak dalam suatu perkara. Namun mekanisme penyadapan berpotensi menjebak. “Upaya paksa maka bisa masuk domain hukum private,” katanya.
Kedua, kasus suap mantan Ketua DPD RI Irman Gusman. Ia menduga kasus Irman Gusman ini jebakan. Sementara ada perbedaan persepsi antara Mahkamah Agung dengan KPK dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT). “Suap dan gratifikasi hal yang berbeda. Kalau sudah kejadian OTT bukan pidana, hancur KPK,” jelasnya.
Ketiga, kedudukan KPK sebagai lembaga negara, bukan lembaga independen. Rullyandi mengaku sudah membaca UU KPK Pasal 3 bahwa KPK bersifat independen. “Ini lembaga negara masuk cabang kekuasaan pemerintah,” ujarnya.
Lalu Rullyandi menyoroti ketentuan KPK dapat mengeluarkan SP3. Dalam KUHAP, SP3 agar masyarakat memahami tugas aparat penegak hukum. Bukan suatu peristiwa hukum dan tidak cukup bukti maka kasus dihentikan. “Prinsipnya kepastian hukum. Jangam sampai kaya kasus Suryadharma Ali berstatus tersangka satu tahun 13 hari, tidak ditahan. Itu lah pentingnya Sp3,” paparnya.
Rullyandi menyimpulkan bahwa jalan terbaik dalam dalam menyikapi polemik ini adalah mengujinya ke Mahkamah Konstitusi (MK). “Jalan terbaik uji di MK agar semua pihak mendapat kepastian hukum. Tidak ada kegentingan memaksa. Kita tinggal menunggu UU KPK dinomorkan,” pungkasnya.