Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi I DPR Syaiful Bahri Anshori menyatakan Indonesia berhak melakukan protes keras terhadap klaim sepihak dari China terkait Laut Natuna. Hal itu dapat dilihat dari berbagai spektrum argumentasi yang valid dan kredible, baik menurut hukum internasional maupun argumentasi historis laut Natuna.
Argumentasi historis yang dimaksud Syaiful Bahri yakni Natuna terdiri dari tujuh pulau, dengan Ibu Kota di Ranai. Pada 1597, kepulauan Natuna masuk ke wilayah Kerajaan Pattani dan Kerajaan Johor di Malaysia. Pada abad 19, Kesultanan Riau menjadi pulau pengawal yang berada di jalur strategis pelayaran internasional tersebut.
Setelah Indonesia merdeka, delegasi dari Riau ikut menerima kedaulatan di Republik Indonesia yang berpusat di Jawa. Pada 18 Mei 1956, Indonesia resmi meminta kepulauan itu sebagai wilayahnya ke PBB.
Dari klaim sejarah tersebut, kata Syaiful Bahri, Indonesia telah membangun pelbagai infrastruktur di kepulauan seluas 3,420 kilometer persegi ini. Etnis Melayu jadi populasi dominan, mencapai 85 persen, disusul Jawa 6,34 persen, lalu Tionghoa 2,52 persen.
“Sehingga berdasarkan fakta kesejarahan tersebut, klaim China tidak mempunyai dasar historis apapun atas laut Natuna, selain daripada kepentingan ekonomi akan kekayaan gas alam di Natuna dan melindungi nelayan China,” ujar Syaiful Bahri Anshori dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (4/1/2020).
Badan Keamanan Laut atau Bakamla sebelumnya menjelaskan adanya pelanggaran atas zona ekonomi eksklusif atau ZEE Indonesia di perairan utara Natuna, Kepulauan Riau, pada Desember 2019. Kejadian ini bermula saat kapal penjaga pantai pemerintah China muncul di perbatasan perairan.
Saat muncul di laut Indonesia, coast guard China menjaga beberapa kapal ikan yang sudah masuk di dalam ZEE Indonesia. Saat itu, keberadaan mereka diketahui oleh KM Tanjung Datu 301 milik Bakamla. Saat diusir, kapal China menolak dengan beralasan mereka berada di wilayah perairan milik sendiri.
Politisi Partai Kebangkitan Bangsa atau PKB ini memaparkan sikap yang harus diambil oleh pemerintah Indonesia atas persoalan ini. Pertama, pemerintah dan seluruh warga negara harus hadir di laut natuna. Pasalnya, kedaulatan Indonesia adalah harga mati terutama instrumen negara harus hadir secara fisik disana.
“Untuk melakukan penguasaan secara efektif melalui KKP, TNI AL, Bakamla, untuk tegas mengusir nelayan China yang melakukan penangkapan ikan di ZEE. Serta harus mendorong dan memfasilitasi nelayan Indonesia untuk masif melakukan eksploitasi ikan di ZEE serta mendapatkan pengawalan yang ketat dari TNI,” paparnya.
Kedua, pemerintah Indonesia harus mengawal dan secara tegas melakukan penolakan atas klaim China melalui nota diplomatik yang menjelaskan posisi dan sikap indonesia yang tegas.
Ketiga, mendorong Presiden Republik Indonesia secara aktif melakukan loby internasional serta memperkuat diplomasi internasional untuk menjaga kedaulatan republik Indonesia.
“Keempat, melakukan gugatan arbitrase internasional melalui mekanisme hukum internasional atas pelanggaran atas zona ekonomi ekslusif indonesia (ZEEI),” katanya. (Bie)
Editor: Bobby