Jakarta, JurnalBabel.com – Pada pembukaan Ekspo Profesi Keuangan secara virtual, Senin (12/10/2020), Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menerangkan perjalanan panjang pemerintah Indonesia dalam membangun neraca keuangan negara yang sehat.
Awalnya, ada warisan utang dari masa penjajahan Belanda US$1,13 miliar atau setara Rp19,14 triliun dengan kurs saat ini.
Menkeu mengatakan catatan itu menunjukkan Belanda tidak hanya mewariskan perekonomian yang rusak, melainkan juga beban utang kepada Indonesia.
Pernyataan senada disampaikan kembali saat peringatan Hario Oeang RI ke-74 pada Sabtu (31/10/2020).
Anggota Komisi XI DPR, Anis Byarwati, menyampaikan catatan tersendiri terkait dengan pernyataan Menkeu tersebut (3/11/2020). Menurut Anis, apa yang disampaikan Menkeu Sri Mulyani mengenai utang warisan itu memang merupakan fakta sejarah.
“Namun dari sejarah juga, kita mengetahui bahwa Presiden Soekarno memutuskan untuk mengabaikan pembayaran utang warisan Belanda tersebut pada tahun 1956, dan saat itu Indonesia sudah melunasi sebagian utang tersebut hingga 82 persen,” ungkap Anis dalam keterangan tertulisnya, Selasa (3/11/2020).
Namun, politisi senior PKS ini memberikan penekanan bahwa mengaitkan utang Indonesia di masa sekarang dengan utang warisan itu. “Saya kira tidak relevan,” tegasnya.
Dari masa kemasa, pemerintahan Indonesia memang memiliki utang. “Yang harus kita lihat, utang itu dialokasikan untuk apa saja, dan seberapa besar dirasakan manfaatnya untuk kesejahteraan rakyat,” katanya.
Doktor ekonomi Islam lulusan Universitas Airlangga ini kemudian mengulas dari sisi lain. “Sekarang, kita lihat secara obyektif saja,” ujarnya.
“Berdasarkan data APBN edisi Agustus 2020, realisasi pembiayaan utang Indonesia hingga Juli telah mencapai Rp519,22 triliun. Realisasinya terdiri dari penyerapan SBN Rp513,4 triliun, utang luar negeri (ULN) Rp5,17 triliun, dan pinjaman dalam negeri Rp634,9 miliar. Angka dalam separuh tahun ini telah melebihi total utang selama tiga tahun sebelumnya,” paparnya.
Legislator asal DKI Jakarta ini menjelaskan, dengan realisasi ini posisi utang Indonesia per Juli 2020 telah menyentuh Rp5.434,86 triliun. Utang tersebut terdiri dari SBN Rp4.596,6 triliun, pinjaman Rp10,53 triliun, dan ULN Rp828,07 triliun. Rasio utang terhadap PDB telah naik menjadi 34,53 persen dari sebelumnya 33,63 persen pada Juli 2020.
Untuk tahun ini, bunga utang Indonesia telah mencapai Rp338,8 triliun atau setara 17 persen dari APBN 2020.
“Angka ini telah melewati batas aman yang direkomendasikan IMF, yakni 10 persen,” ungkap Anis memberi catatan.
“Yang menjadi masalah tambahan adalah ketika risiko yang besar ini diambil untuk sesuatu yang hasilnya belum terlihat efektif. Upaya meredam dampak Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang menjadi dalih pemerintah berutang masih belum menunjukkan hasil maksimal,” tambah Anis.
Data juga menunjukkan bahwa penambahan utang Indonesia secara statistik dalam kurun waktu 2014 sampai dengan 2020 (outlook) telah mencapai Rp3.390,72 triliun atau meningkat 129,97 persen hanya dalam waktu enam tahun (2014 sebesar Rp2.608,78 triliun serta Rp5.999,50 triliun pada outlook 2020).
“Data-data ini menunjukkan bahwa sejak terjadinya krisis pada tahun 1997-1998, periode pemerintahan sekarang ini memegang rekor dengan penambahan utang terbanyak,” pungkasnya. (Bie)