Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi II DPR Fraksi Partai Demokrat, Anwar Hafid, mengkritisi sidang putusan sengketa hasil Pilkada serentak 2020 oleh Mahkamah Konstitusi (MK) yang dilaksanakan sejak Kamis (18/3/2021) hingga Senin (22/3/2021).
Adapun jumlah perkara yang diputus oleh MK sebanyak 32 perkara sengketa hasil Pilkada 2020 yang masuk dalam tahap pembuktian. Dari 32 perkara yang diputus, 16 perkara diminta lakukan pemungutan suara ulang (PSU).
Terdiri dari sengketa Bupati Teluk Wondama, Bupati Yalimo, Bupati Nabire sebanyak dua perkara, Bupati Morowali, dan sengketa pemilihan Gubernur Kalimantan Selatan.
Selanjutnya, Bupati Labuhanbatu Selatan, Bupati Halmahera Utara, Bupati Labuhanbatu, dan Bupati Penukal Abab Lematang Ilir. Lalu sengketa Bupati Rokan Hulu, Bupati Mandailing Natal, Bupati Indragiri Hulu, Gubernur Jambi, Wali Kota Banjarmasin, dan Bupati Boven Digoel.
Menurut Anwar, 16 daerah lakukan PSU Pilkada terjadi akibat desain Pilkada langsung bermasalah. Sebab itu, ia mengusulkan payung hukum pelaksanaan Pilkada, yakni Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) harus di revisi.
“Proses Pilkada langsung harus didesain dengan baik untuk mencegah terjadinya Pilkada yang rawan akan proses yang cedera. Karena itu sikap kami mesti harus terus melakukan evaluasi terhadap UU Pemilu dan UU Pilkada,” kata Anwar Hafid saat dihubungi, Jumat (26/3/2021).
Belum lama ini, Komisi II DPR mengusulkan Revisi UU/RUU Pemilu masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2021. Namun batal dilakukan akibat mayoritas fraksi partai politik di DPR menolak beberapa pasal dalam draft RUU Pemilu yang diusulkan Komisi pemerintahan DPR tersebut. Hanya Fraksi Partai Demokrat yang ngotot RUU Pemilu masuk Prolegnas 2021.
Ketentuan pasal yang ditolak diantaranya Pasal 731 Ayat 2 dan 3 bahwa Pilkada serentak dilaksanakan pada 2022 dan 2023. Kemudian, Pasal 734 menyebutkan bahwa Pilkada serentak akan dilangsungkan pada tahun 2027 dan selanjutnya diselenggarakan setiap lima tahun sekali.
Ketentuan ini berbeda dengan ketentuan yang dimuat UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Pada Pasal 201 Ayat 8 disebutkan bahwa Pilkada serentak telah ditetapkan digelar pada November 2024. Pelaksanaan Pilkada ini akan berdekatan dengan Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) pada April 2024.
Anwar yang juga anggota badan legislasi (Baleg) DPR ini menegaskan apa yang terjadi saat ini hanyalah akses dari proses Pemilu yang belum matang. “Maka regulasinya mesti di evaluasi dengan revisi UU Pemilu dan Pilkada,” tegasnya.
(Bie)