Jakarta, JurnalBabel.com – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan akan melakukan reformasi perpajakan untuk mengejar pemenuhan target pajak tahun 2022.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, kelanjutan reformasi perpajakan diarahkan untuk perluasan basis pajak dan mencari sumber baru penerimaan negara.
Ia memaparkan, hal tersebut diantaranya dengan melakukan penyempurnaan pemungutan PPN dan mengurangi regresivitasnya. Lalu penguatan kebijakan pengenaan pajak penghasilan khususnya bagi orang pribadi, serta potensi pengenalan jenis pungutan baru khususnya terkait pemajakan eksternalitas terhadap lingkungan.
Menanggapi rencana Kemenkeu ini, anggota Komisi XI dari Fraksi PKS, Anis Byarwati, mengatakan kata kunci untuk reformasi perpajakan yakni harus menjunjung prinsip keadilan. Ditegaskannya bahwa sudah seharusnya pajak bisa menjadi alat redistribusi kekayaan yang paling efektif.
“Namun kenyataannya, beberapa tahun terakhir kita lihat sebaliknya,” tegas Anis Byarwati dalam keterangan tertulisnya, Senin (24/5/2021).
Ketua DPP PKS Bidang Ekonomi dan Keuangan ini mengingatkan bahwa saat menggaungkan tax amnesty di tahun 2016, mimpi yang ditawarkan Pemerintah diantaranya akan memperbaiki basis data perpajakan. Saat itu, tax amnesty jelas mengampuni para “pengemplang pajak” dengan membayar tarif pajak yang sangat rendah.
Kemudian dilanjutkan dengan adanya penetapan Perppu No.1 tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan menjadi UU.
“Tetapi realita yang tidak bisa diingkari, sampai tahun 2020 tax ratio menurun terus. Berarti ada yang harus dipertanyakan dengan tax amnesty. Ada apa sebenarnya?” tanya Anis.
Kemudian secara berturut-turut, pemerintah melakukan penurunan PPh badan dan berbagai insentif termasuk PPnBM 0% mulai dari properti sampai dengan kendaraan.
“Dari sini tentu kita sudah bisa berpikir, jika satu sisi sumber penerimaan berkurang, pasti akan dicari sumber penerimaan lain,” katanya.
Dalam penilaian Anis, menaikkan PPN saat ini di tengah kondisi pemulihan dampak pandemi Covid-19, jelas bukan saat yang tepat. Kebijakan menaikkan PPN akan menjadi beban baru bagi rakyat, dan juga usaha retail. Menaikkan PPN akan secara langsung menghantam daya beli masyarakat, dan pada gilirannya akan menurunkan tingkat konsumsi.
“Ini berarti akan menurunkan penerimaan negara,” tegasnya.
Anis yang menjabat sebagai Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI ini menegaskan bahwa kebijakan menaikkan PPN, apalagi di tengah stimulus perpajakan yang seolah diobral bahkan sampai muncul wacana tax amnesty jilid 2, patut dipertanyakan.
“Dimana keberpihakan pemerintah ? Jangan sampai masyarakat yang sedang susah karena dampak pandemi ini, ditambah lagi bebannya,” tuturnya.
Namun demikian, politisi senior PKS ini menyatakan bahwa target perpajakan memang masih terlalu tinggi. “Dan pesan saya kepada pemerintah, langkah reformasi perpajakan, tidak boleh mencederai rasa keadilan,” pesannya.
Anis pun memberikan catatan khusus terkait tax amnesty. Ia mengatakan, banyak orang salah kaprah dengan TA ini. Seolah bangga mengikuti tax amnesty, lalu merasa menjadi pahlawan dalam menambah penerimaan negara. Padahal TA ini bisa dikatakan, orang mengemplang pajak, lalu diampuni dan di beri tarif ringan.
Mencermati konstitusi, TA memiliki definisi pengampunan pajak atau amnesti pajak adalah sebuah kesempatan berbatas waktu bagi kelompok wajib pajak tertentu untuk membayar pajak dengan jumlah tertentu sebagai pengampunan atas kewajiban membayar pajak yang berkaitan dengan masa pajak sebelumnya, tanpa takut penuntutan pidana.
“Jadi ini perbuatan yang salah, kemudian diampuni,” pungkasnya. (Bie)