Jakarta, JurnalBabel.com – Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti menyatakan alasan Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin tidak menandatangani persetujuan adanya RDP Komisi III dengan gabungan aparat penegak hukum benar secara normatif.
Sebab dalam pasal 1 angka 13 dan Pasal 13 huruf I tatib DPR RI dinyatakan bahwa reses merupakan kewajiban DPR untuk menyerap atau menghimpun aspirasi masyarakat melalui kunjungan kerja.
“Hanya saja, alasan tadi tidak terjadi secara faktual. Kenyataannya, DPR sendiri telah melakukan beberapa rapat dalam masa reses,” kata Ray Rangkuti saat dihubungi, Sabtu (18/7/2020).
Ray mencatat beberapa rapat tersebut malah terjadi di tahun 2020 ini. Misalnya, pembahasan tahapan pilkada antara Komisi II dengan Mendagri, dan penyelenggara pemilu, termasuk membahasa Perppu Nomor 2 Tahun 2020.
Yang baru saja terjadi dan sempat ramai ditolak masyarakat adalah pembahasan RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang dilakukan pada bulan Mei 2020 lalu. Bahkan Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mewacanakan akan melakukan pembahasan Perpres Nomor 64 tahun 2020 pada masa reses saat ini.
Tapi jauh sebelum ini, ungkap Ray, wacana rapat DPR dilakukan di masa reses juga pernah diutarakan justru oleh Azis Syamsuddin sendiri. Menjabat sebagai ketua Komisi III DPR RI di tahun 2015, Azis Syamsuddin menyatakan akan membahas RUU KUHP sekalipun dalam masa reses.
“Nah berdasarakan beberapa fakta ini, tentunya alasan Azis Syamsuddin tidak berkenan menandatangani RDP Komisi III dengan gabungan Aparat Penegak Hukum itu karena DPR sedang reses kurang mendapat landasan faktualnya,” ujarnya.
Ray tidak tahu, apakah ada aturan terbaru di DPR bahwa sejak Juli 2020 misalnya, semua jenis rapat di DPR tidak diperkenankan selama masa reses sedang tejadi.
“Jika memang ada, mungkin tepat jika aturan baru itu disampaikan kepada masyarakat. Jika tidak, maka alasan Azis Syamsuddin itu tidak kokoh,” jelasnya.
Lebih lanjut Ray mengingatkan bahwa kasus Djoko Tjandra ini memerlukan perhatian, penangan dan penyelesaian yang serius, cepat dan tuntas, maka kiranya RDP Komisi III dengan gabungan Aparat Penegak Hukum tersebut memang sangat diperlukan.
“Tentu saja, makin cepat makin bagus. Dengan begitu, penyelesaian kasus inipun kiranya dapat dilakukan dengan segera dan tentu saja tuntas,” katanya.
Tak lupa Ray mendesak agar Komisi III menjadikan berbagai peristiwa ini untuk mendesakan reformasi di lingkungan aparat penegak hukum.
“Khususnya di lembaga kepolisian dan kejaksaan yang bisa dimulai dengan melakukan revisi UU Kepolisian dan Kejaksaan,” pungkasnya.
Azis Syamsuddin Membantah
Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin membantah jika dirinya menolak untuk menandatangani surat masuk yang diberikan Komisi III DPR RI untuk melakukan rapat dengar pendapat (RDP) secara gabungan dengan aparat penegak hukum seperti Polri, Kejaksaan dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Azis mengatakan dirinya tidak ingin melanggar Tata Tertib DPR dan keputusan Badan Musyawarah DPR RI, karena itu tudingan Ketua Komisi III DPR RI Herman Herry tidak benar dirinya menolak Komisi III melakukan pengawasan kasus Djoko Tjandra tidak benar.
“Tentunya saya tidak ingin melanggar tatib dan hanya ingin menjalankan Tata Tertib DPR dan Putusan Bamus, yang melarang RDP Pengawasan oleh Komisi pada masa reses, yang tertuang dalam Pasal 1 angka 13 yang menerangkan bahwa masa reses adalah masa DPR melakukan kegiatan di luar masa sidang, terutama di luar gedung DPR untuk melaksanakan kunjungan kerja,” Kata Azis Syamsuddin dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu.
Sebelumnya, Ketua Komisi III DPR RI Herman Herry mengatakan surat izin untuk menggelar rapat dengar pendapat (RDP) pengawasan terhadap mitra kerja itu telah dikirim ke pimpinan DPR sejak Rabu (15/7/2020).
Namun, hingga saat ini, surat tersebut tidak ditandatangani oleh Azis Syamsuddin sebagai Wakil Ketua DPR Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Korpolkam).
“Tentunya kami menganggap kasus ini bersifat super urgen sehingga berdasarkan mekanisme Tatib DPR, kami harus meminta izin kepada pimpinan DPR,” kata Herman dalam rilis yang diterima di Jakarta, Jumat (17/7/2020).
Sementara, menurut Herman, Ketua DPR RI Puan Maharani sesungguhnya telah mengizinkan dan menyetujui rencana RDP yang rencananya digelar Selasa (21/7).
“Sebagai informasi, Ketua DPR telah mengizinkan dan menyetujui rencana RDP tersebut pada masa reses hari Selasa depan. Maka dari itu, Ketua DPR mendisposisi izin tersebut kepada Wakil Pimpinan DPR bidang Korpolkam,” kata Herman.
Karena Komisi III DPR RI belum mendapat kepastian soal rencana rapat gabungan dengan aparat penegak hukum, yakni Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim), Jaksa Agung Muda bidang Tindak Pidana Umum (Jampidum), dan Direktur Jenderal Imigrasi terkait kasus buronan Joko Tjandra.
Sebab, surat izin rapat gabungan itu masih tertahan di meja Wakil Ketua DPR bidang Korpolkam, Azis Syamsuddin.
“Informasi terakhir dari sekretariat, surat tersebut tidak ditandatangani oleh Wakil Pimpinan DPR bidang Korpolkam disebabkan ada Putusan Bamus yang melarang RDP Pengawasan oleh Komisi pada masa reses. Sampai saat ini saya juga masih menunggu untuk melihat salinan Putusan Bamus tersebut,” kata Herman.
Untuk diketahui, berdasarkan Pasal 310 Tatib DPR, segala surat keluar/surat undangan rapat harus ditanda tangani oleh salah seorang pimpinan DPR atau Sekjen DPR atas nama pimpinan DPR.
“Jadi pimpinan DPR membagi tanda tangan sesuai dengan bidang kerja masing-masing,” terang Herman.
Sementara, menurut Azis Syamsuddin, dirinya selalu mendukung kinerja teman-teman komisi. Namun, yang terpenting sesuai dengan aturan dan mekanisme di Tata Tertib dan Bamus. Hal itulah yang menjadi pijakan dirinya dalam menjalankan tugas sebagai bagian dari Pimpinan DPR.
“Di Bamus sudah ada perwakilan masing-masing Fraksi, sehingga informasi kesepakatan dan keputusan yang terjadi bisa di koordinasikan di Fraksi masing-masing. Hal ini penting agar komunikasi dan etika terjalin dengan baik” ujarnya.
Azis Syamsuddin menegaskan bahwa yang lebih penting dalam menanggapi perkembangan kasus Djoko Tjandra adalah kasus tersebut harus diusut sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
“Oknum-oknum yang terlibat dalam hal tersebut harus ditindak tegas. DPR RI dalam hal ini, tentu harus melaksanakan pengawasan dan koordinasi terhadap Aparat Penegak Hukum sesuai dengan tugasnya,” ujar Azis.
(Bie)