Jakarta, JurnalBabel com – Kemarin sore DPR menggelar rapat paripurna pengesahan alat kelengkapan dewan atau AKD. Anggota DPR termuda periode 2019-2024, Hillary Brigitta Lasut pun ditugaskan di Komisi III yang membidangi masalah hukum, hak asasi manusia dan keamanan.
Hal itu sesuai dengan ilmu yang Hillary kuasai yakni di bidang hukum. Dimana perempuan berusia 23 tahun ini lulusan sarjana hukum Fakultas Hukum di Universitas Pelita Harapan (UPH). Kemudian, ia melanjutkan studi S2 di Washington University.
Tentu banyak hal yang ingin ia perjuangkan selama 5 tahun ke depan di DPR. Pertama terkait perubahan sistem persiapan pemidanaan yang diatur dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang batal disahkan pada akhir anggota DPR periode 2014-2019.
Pemidanaan yang dimaksud diluar kehendaknya. Contoh kasus, seseorang sudah membeli gunting, senjata api, namun belum melakukan tindak pidana, itu bisa dikenai pidana.
Padahal lanjut Hillary bahwa bisa saja seseorang membeli bahan kimia untuk percobaan penelitian. Bukan untuk melakukan tindak pidana. Kedua, memperjuangkan UU Anti Kriminalisasi. Pasalnya, banyak masukan dari masyarakat bahwa penegakan hukum tumpul ke atas tajam ke bawah merugikan masyarakat. Padahal ada mekanisme pra peradilan.
“UU Anti Kriminalisasi ini lebih melindungi masyarakat dari tindakan sewenang-wenang penegak hukum,” kata Hillary Briggita Lasut di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (22/10/2019).
Lebih lanjut politisi asal daerah pemilihan (dapil) Sulawesi Utara ini mengatakan bahwa UU Anti Kriminalisasi ini bukan untuk mengembalikan pidana ke aparat penegak hukum. Tetapi bisa dilakukan pembatalan atau dengam kata lain dapat dikeluarkan surat perintah penghentian penyidikan atau SP3. Ia mencontohkan kasus salah tangkap pembunuhan pengamen di kolong jembatan kali Cipulir, Jakarta Selatan.
Keempat pengamen Cipulir dibawah umur itu adalah Fatahillah, Arga alias Ucok, Fikri, serta Bagus Firdaus alias Pau. Bersama dua pengamen lain, Andro Supriyanto dan Nurdin Priyanto, mereka dituduh membunuh Dicky Maulana, pengamen yang ditemukan tewas di kolong Jembatan Cipulir, Jakarta Selatan, pada 30 Juni 2013.
Para pengamen tersebut menyatakan dipaksa polisi untuk mengaku sebagai pelaku pembunuhan. Bahkan, mereka dinyatakan bersalah dan divonis kurungan penjara dengan hukuman bervariasi. Namun, dalam putusan banding dan kasasi Mahkamah Agung pada 2016 mereka dibebaskan karena dinyatakan tak bersalah.
Dalam gugatannya, mereka menuntut ganti rugi kepada Polda Metro Jaya, Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, serta Kementerian Keuangan sebesar material sebesar Rp 662.400.000 untuk kerugian materiil dan kerugian imateriil Rp 88.500.000, serta merehabilitasi nama baik para pemohon di media massa nasional dan lokal.
Keempatnya mencoba mengikuti jejak Andro dan Nurdin yang telah lebih dulu mengajukan praperadilan pada 2016. Permohonan tersebut kemudian dikabulkan sebagian oleh pengadilan dengan meminta Polda Metro Jaya untuk memberikan ganti rugi senilai Rp 72 juta. Uang diterima pada 2018.
Dalam dakwaan pembunuhan bagi kawanan pengamen Cipulir itu, berkas perkara Andro dan Nurdin memang terpisah dari Fatahillah dkk. Saat itu Fatahillah dkk masih tergolong anak sehingga proses hukum dan peradilan dipercepat.
“Itu (kasus salah tangkap pengamen Cipulir) bisa dicegah di depan dengan UU Anti Kriminalisasi,” ujar putri Bupati Kepulauan Talaud. (Joy)
Editor: Bobby