Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi III DPR Wihadi Wiyanto menyatakan peran Kepolisian dalam meloloskan buronan Kejaksaan Agung (Kejagung) kasus pengalihan hak tagih Bank Bali, Djoko Tjandra, berkeliaran bebas keluar masuk ke Indonesia terlihat sangat jelas. Hal itu terlihat dari surat jalan Djoko Tjandra diteken Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri Brigjen Prasetyo Utomo.
Surat jalan untuk Djoko Chandra dikeluarkan Bareskrim Polri melalui Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS dengan Nomor: SJ/82/VI/2020/Rokorwas, tertanggal 18 Juni 2020. Dalam surat tersebut disebutkan Djoko Tjandra berangkat ke Pontianak Kalimantan Barat pada 19 Juni dan kembali pada 22 Juni 2020. Sementara, Brigjen Pol Prasetyo Utomo tidak memiliki kewenangan meneken surat jalan buronan kelas kakap tersebut.
Lebih lanjut Wihadi mengungkapkan sebelumnya juga National Central Bureau (NCB) Interpol untuk Indonesia pada 13 Mei 2020 mencabut red notice Djoko Tjandra. Sehingga sangat terang benerang peran Polri dalam kasus ini.
“Ini menunjukan dugaan bahwa kasus Djoko Tjandra ini tidak berdiri sendiri. Dan ini lebih membuat terang benerang bahwa institusi seperti Polri, di NCB mencabut red notice, sekarang di Bareskrim menerbitkan surat jalan. Ini tidak bisa lepas tangan bahwa dari beberapa bukti ini jelas peran Polri dalam Djoko Tjandra terlihat sekali,” kata Wihadi saat dihubungi, Rabu (15/7/2020).
Menurut Wihadi, kasus ini akan pihaknya dalami dalam rapat gabungan antara Komisi III dengan Polri, Kejagung dan Imigrasi Kemenkumham. Ditambah Komisi III juga sudah menerima surat jalan Djoko Tjandra dari Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) kemarin.
“Perlu didalami lebih lanjut. Jadi rapat gabungan kita memanggil Kepolisian, Kejaksaan dan Imigrasi, ini lebih lagi memperkuat untuk secepatnya diadakan sehingga masalah ini menjadi terang benerang,” ujarnya.
Pecat Brigjen Prasetyo Utomo
Politisi Partai Gerindra juga mempertanyakan siapa yang meminta Brigjen Prasetyo Utomo meneken surat jalan Djoko Tjandra. Sebab, tegas dia, kasus Djoko Tjandra tidak ada hubungannya dengan biro yang ditangani Brigjen Prasetyo Utomo. Ditambah surat tersebut diteken seperti yang dikatakan oleh Kadiv Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono bahwa tidak atas perintah pimpinan Polri.
“Tanpa izin pimpinan, kita harus tahu juga bahwa atas permintaan siapa? Karena tidak ada hubungannya Djoko Tjandra dengan Brigjen Prasetyo ini. Siapa yang nyuruh? Apakah Djoko Tjandra sendiri atau pengacaranya atau ada orang lain yang menyuruh. Ini mesti juga diperdalam,” jelasnya.
Legislator asal Jawa Timur ini juga meminta Kapolri Jenderal Pol Idham Azis memecat Brigjen Prasetyo Utomo.
“Kalau sudah ada kesalahan fatal seperti ini, pimpinan Polri segera mengganti posisi itu. Jangan sampai mencoreng kepolisian, karena ini suatu hal yang sebenarnya sangat memalukan,” pungkasnya.
Tersangka Djoko Tjandra pertama kali dicegah bepergian ke luar negeri pada 24 April 2008. Red notice dari Interpol atas nama Joko Tjandra kemudian terbit pada 10 Juli 2009.
Pada 29 Maret 2012 terdapat permintaan pencegahan Djoko Tjandra ke luar negeri dari Kejaksaan Agung RI berlaku selama 6 bulan.
Kemudian pada 12 Februari 2015 terdapat permintaan DPO dari Sekretaris National Central Bureau (NCB) Interpol Indonesia terhadap Joko Tjandra.
Ditjen Imigrasi lalu menerbitkan surat perihal DPO kepada seluruh kantor imigrasi ditembuskan kepada Sekretaris NCB Interpol dan Kementerian Luar Negeri.
Pada 5 Mei 2020, terdapat pemberitahuan dari Sekretaris NCB Interpol bahwa ‘red notice’ atas nama Joko Tjandra telah terhapus dari sistem basis data terhitung sejak tahun 2014.
Ditjen Imigrasi menindaklanjuti hal tersebut dengan menghapus nama Joko Soegiarto Tjandra dari sistem perlintasan pada 13 Mei 2020. Namun pada 27 Juni 2020 Kejaksaan Agung meminta penerbitan DPO sehingga nama yang bersangkutan dimasukkan dalam sistem perlintasan dengan status DPO. (Bie)
Editor: Bobby