Jakarta, JurnalBabel.com – Pemerintah dinilai ugal-ugalan kelola anggaran negara dengan alasan untuk penanganan COVID-19 di Indonesia.
Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Sukamta menyatakan bahwa banyak terjadi keanehan dalam anggaran perubahan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 Tentang Perubahan Postur Dan Rincian APBN TA 2020. Awalnya APBN 2020 sejumlah Rp 2.540 trilliun kemudian terjadi penambahan belanja sebesar Rp 73 trilliun sehingga APBN menjadi Rp 2.613 trilliun.
“Gara-gara ugal-ugalan dalam pengelolaan keuangan negara terjadi peningkatan defisit APBN dari Rp 397 trilliun atau 1.76 persen dari PDB menjadi Rp 852 trilliun 5,07 persen dari PDB. Defisit anggaran akan semakin besar bisa sampai 10-15% jika tidak ada penghematan dan terus terjadi penambahan belanja negara, sementara penerimaan negara semakin menurun akibat krisis ekonomi,” kata Sukamta dalam keterangan tertulisnya, Rabu (22/4/2020).
Menurut Sukamta, kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah selama ini jika terjadi defisit anggaran maka pemerintah memilih langkah yang mudah yaitu berhutang untuk menutupinya. “Padahal tahun ini saja pemerintah harus membayar cicilan pokok hutang luar negeri sebesar Rp 105 trilliun,” ungkapnya.
Lebih lanjut Sukamta menjelaskan pada awalnya APBN 2020 pembiayaan anggaran dari hutang sebesar Rp 351 trilliun membengkak 3 kali lipat menjadi Rp 1.006 trilliun. Penambahan pembiayaan dari hutang membuat ruang fiskal Indonesia semakin terbatas ke depannya karena hutang semakin menumpuk akibatnya pemerintah akan kesulitan likuiditas.
Hutang yang semakin besar dan bertenor panjang akan membebani generasi yang akan datang. “Pemerintah Jokowi-Ma’ruf yang menikmati belanjanya namun generasi anak cucu bangsa Indonesia yang menanggung pengembalian hutangnya,” sesalnya.
Anggota Komisi I DPR ini menambahkan parahnya lagi selama ini pemerintah tidak mampu menjelaskan bagaimana hutang ini dikelola untuk kegiatan modal produktif atau konsumtif karena tidak jelas alokasinya yang turun secara gelondongan.
“Hutang menjadi modal produktif ataukah hanya konsumtif masih jadi pekerjaan rumah pemerintah ,” paparnya.
Perppu Mengakali Defisit Anggaran
Legislator dari daerah pemilihan DI Yogyakarta ini mengingatkan per Maret 2020 telah terjadi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebesar Rp76,4 triliun akibat dari realisasi pendapatan negara lebih rendah belanja negara. Pada Maret 2020, pendapatan negara baru mencapai Rp375,9 triliun sedangkan pemerintah telah mengeluarkan Rp452,3 trilliun untuk belanja.
“Pemerintah mengakali defisit anggaran dan untuk membiayai kebutuhan pemerintah yang ugal-ugalan, lahirlah PERPPU Nomor 1 Tahun 2020 yang ugal-ugalan juga,” katanya.
Besaran defisit APBN pun melampaui tiga persen dari PDB. Artinya, sebut dia, terjadi pelanggaran Pasal 17 (3) Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. “Namun mensiasati hal tersebut, Perppu Nomor 1 Tahun 2020 kemudian mengubah batas defisit anggaran negara melampaui 3 % (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB), bahkan tidak ada batas atasnya” jelas doktor lulusan UK ini.
Sukamta kemudian berpesan bahwa langkah pemerintah harus fokus pada penyelesaian COVID-19 yang belum selesai bukan pada masalah ekonominya. Setelah pandemi COVID-19 bisa diatasi baru fokus dialihkan ke ekonomi. Bukan dibalik fokus penanganannya.
“Jika pemerintah tidak segera menyelesaikan masalah COVID-19 kemudian membuat langkah-langkah strategis dengan target waktu yang jelas, maka kebijakan mengembalikan kondisi ekonomi akan sia-sia. Padahal efek COVID-19 diperkirakan bisa melebihi krisis moneter 1998, sehingga penerimaan negara akan semakin menurun dari perkiraan,” pesan Ketua DPP PKS Bidang Pembinaan dan Pengembangan Luar Negeri ini. (Bie)
Editor: Bobby