Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi PKS Ecky Awal Mucharam menyampaikan bahwa Perppu telah berdampak buruk pada sistem keuangan, sehingga Fraksi PKS menolak RUU Tentang Penetapan Perpu No. 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang.
“Perppu telah membuka banyak ruang terbuka yang berbahaya bagi sistem keuangan kita. Kekuasaan tak terbatas KKSK, kekebalan hukum, dibukanya peluang kebijakan bail-out dan blanket guarantee adalah contoh-contohnya. Ini sangat berbahaya,” tegas Ecky dalam keterangan tertulisnya, Selasa (5/5/2020).
Ecky menyampaikan bahwa Perppu No. 1 Tahun 2020 telah membuka peluang terjadinya kebijakan bail-out atau penyelamatan sektor keuangan dengan keuangan negara yang bersifat tidak adil.
“Kebijakan bailout memunculkan ketidakadilan bagi rakyat, dan seharusnya skema penyelematan bank melalui peran pemegang saham atau group konglomerasinya (bail-in) sebagaimana ditetapkan pada UU No. 9 Tahun 2016 tentang PPKSK. Seharusnya ini yang tetap digunakan dan diutamakan. Hal ini disebabkan pemilik bank merupakan konglomerat di negeri ini. Bisnisnya pun menjamur ke sektor-sektor lainnya. Jadi, tidak ada alasan untuk tidak mampu menggunakan skema bail-in,” paparnya.
Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR ini menekankan bahwa skema bail-out selalu berpotensi melahirkan skandal penyimpangan kekuasaan keuangan negara atas penanganan krisis yang telah menimbulkan biaya yang besar dan telah mengingatkan publik atas trauma krisis ekonomi 1997-1998. Penyimpangan tersebut telah membebani negara lebih dari Rp650 triliun ditambah dengan beban bunganya. Beban berat ini kemudian ditanggung oleh rakyat secara keseluruhan melalui beban pajak dan inflasi yang berkelanjutan.
“Segelintir kelompok konglomerat menikmati kebijakan yang tidak adil dari fasilitas BLBI dan Obligasi Rekap dan tetap menjadi penguasa modal paska reformasi sampai sekarang. Mereka tetap memiliki privilege menjadi oligarki ekonomi dan modal yang bahkan mempengaruhi lanskap sosial dan politik hari ini. Kita menolak skema bail-out dari keuangan negara atas kerugian perusahaan swasta baik bank, lembaga keuagan, atau perusahaan lainnya”, tegasnya.
Ecky juga mengungkapkan bahwa Perppu No. 1 Tahun 2020 memunculkan potensi lahirnya kebijakan penjaminan penuh (blanket guarantee) yang melukai keadilan dan berpotensi memunculkan moral hazard. Pada Pasal 20 disebutkan bahwa LPS diberikan kewenangan untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan penjaminan simpanan untuk kelompok nasabah dengan mempertimbangkan sumber dana dan/atau peruntukkan simpanan serta besaran nilai yang dijamin bagi kelompok nasabah tersebut yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Sementara pada Pasal 22 ayat 1 ditegaskan bahwa untuk mencegah krisis sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional, Pemerintah dapat menyelenggarakan program penjaminan di luar program penjaminan simpanan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang mengenai LPS. Dengan penjaminan penuh (full guarantee) maka seluruh simpanan di perbankan seluruhnya dijamin oleh pemerintah.
“Tentu ini mencederai rasa keadilan rakyat. Selain berpotensi memunculkan moral hazard,” katanya.
Ecky telah menyampaikan Pendapat Fraksi PKS dalam Rapat Kerja Badan Anggaran DPR RI yang digelar untuk pembahasan RUU tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan pada Senin, (4/5/2020). Dalam Rapat Kerja dihadiri oleh Menteri Keuangan, Menteri Hukum dan HAM, Gubernur BI, Ketua OJK, dan Ketua LPS termasuk dengan agenda pengambilan keputusan atas RUU tentang Penetapan Perppu No.1 Tahun 2020 Menjadi UU.
Wakil Ketua Fraksi PKS ini menyampaikan bahwa Fraksinya telah menyampaian 22 catatan terkait Perppu tersebut.
Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi PKS lainnya, Anis Byarwati, menunjukkan dua catatan paling krusial dalam Perppu tersebut. Pertama, PKS berpendapat bahwa Perppu maupun aturan turunannya, yakni Perpres 54/2020, tidak memberikan komitmen yang jelas mengenai anggaran penanganan wabah
Covid-19.
Ia mengungkapkan, pemerintah berulangkali menyatakan akan menggelontorkan dana Rp 405 triliun, akan tetapi angka tersebut tidak pernah tercantum dalam berbagai aturan yang telah diturunkan.
“Fraksi PKS mendorong Pemerintah untuk lebih transparan dalam hal
realokasi dan kebijakan anggaran dalam penanganan wabah Covid-19,” ujarnya.
Kedua, PKS menilai kebijakan Perppu tersebut memiliki ketidakpastian akan keberpihakan terhadap kelompok masyarakat menengah ke bawah, kalangan rentan, dan yang terdampak pagebluk.
Menurutnya, Perppu 1/2020 tidak memberikan banyak ruang bagi perlindungan masyarakat berpenghasilan rendah yang terdampak dan belum masuk pada program keluarga harapan (PKH) serta belum menerima Kartu Sembako.
“Bahkan tidak ada satu pasal secara eksplisit yang terkait dengan kebijakan terhadap kelompok masyarakat mendekati miskin, rentan, dan terdampak tersebut. Sehingga alokasi Rp 405 triliun dikhawatirkan tidak akan banyak membantu bagi kehidupan mereka dan juga pada masa pemulihan nantinya,” tegas dia.
Untuk itu, lanjut Anis, PKS mendesak pemerintah untuk fokus membantu dan melindungi rakyat dari segala dampak musibah ini. Caranya tentu melalui bantuan-bantuan kesehatan dan
bantuan sosial langsung yang segera disalurkan kepada rakyat terdampak.
“Fraksi PKS mendorong Pemerintah agar mengganti Perpu No 1 Tahun 2020 dengan Perppu yang memperhatikan dan memasukkan poin-poin dalam pendapat Fraksi PKS tersebut di atas agar tidak menimbulkan berbagai masalah yang merugikan keuangan negara dan rakyat dikemudian hari,” jelas Anis. (Bie)
Editor: Bobby