Oleh: Said Salahudin, Pemerhati Hukum Tata Negara/Direktur Sinergi masyarakat untuk demokrasi Indonesia (Sigma)
Yang dituntut buruh, mahasiswa, dan elemen masyakatat lain itu ‘legislative review’ atau ‘executive review’, bukan ‘judicial review’.
Seruan Presiden Joko Widodo atau Jokowi agar pihak yang tidak puas terhadap Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) mengajukan ‘judicial review’ ke Mahkamah Konstitusi (MK) bak lempar batu, sembunyi tangan.
Tidak sepantasnya pemerintah lempar tangan soal omnibus law ini kepada lembaga negara yang lain. Dengan cara seperti itu pemerintah seolah menjadikan MK sebagai keranjang sampah. Konstitusionalitas undang-undang dianggap hanya urusan MK, sementara DPR dan pemerintah bisa bebas menyimpangi konstitusi.
Padahal, sistem hukum kita tidak mengatur demikian. Dalam membentuk undang-undang DPR dan Presiden harus tetap memperhatikan ketentuan UUD 1945 dan aspirasi rakyat.
Nah, apa yang dituntut oleh buruh, mahasiswa, dan elemen masyakat lain pada aksi demonstrasi besar-besaran kemarin itu jelas: mereka meminta DPR dan Presiden sendiri yang membatalkan UU Ciptaker, bukan MK.
Jadi, jangan gurui mereka untuk melakukan pengujian undang-undang ke Mahkamah Konstitusi. Para pendemo itu bukan orang bodoh yang tidak mengerti prosedur pengujian undang-undang ke Mahkamah Konstitusi.
Mereka turun ke jalan dalam rangka menuntut keinsafan DPR dan Presiden agar membatalkan sendiri UU Ciptaker yang merugikan rakyat banyak itu. Soal MK itu urusan yang lain lagi. Tidak ada korelasinya dengan aksi mogok nasional para buruh dan unjuk rasa masyarakat luas.
Masalahnya kan, pemerintah tidak memiliki sensitivitas terhadap tuntutan masyarakat itu, dan justru berlagak pilon dengan melempar permasalahan ke Mahkamah Konstitusi.
Apa yang dituntut oleh para demonstran itu dalam teori hukum tata negara disebut dengan ‘legislative review’ atau pengujian produk legislasi oleh lembaga legislatif. Dalam hal ini DPR selaku legislator dan Presiden sebagai co-legislator.
Jadi, UU Ciptaker diminta untuk dibatalkan sendiri oleh DPR dan Presiden sebagai lembaga yang membuat undang-undang tersebut.
Bahwa ada problem waktu bagi DPR dan Presiden untuk membentuk undang-undang baru guna membatalkan UU Ciptaker, itu perkara lain. Yang penting bagi masyarakat adalah ada keinsafan dan jaminan dari kedua lembaga itu untuk membatalkan omnibus law.
Selain dari pada itu, ada pula tuntutan dari para pengunjuk rasa agar Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) supaya UU Ciptaker bisa dibatalkan dalam waktu yang lebih cepat.
Aspirasi rakyat itu disebut dengan proses ‘executive review’ atau peninjauan kembali perangkat hukum oleh badan pemerintah. Dan Presiden punya kewenangan itu.
Jadi, sangatlah jelas yang dituntut oleh masyarakat kepada DPR dan Presiden adalah proses ‘legislative review’ atau ‘executive review’, bukan ‘judicial review’ atau pengujian produk hukum oleh lembaga peradilan.
Proses ‘judicial review’ di Mahkamah Konstitusi bukan satu-satunya cara untuk mengubah atau membatalkan undang-undang.
Jika DPR dan Presiden memiliki kepekaan dan pro-aktif terhadap aspirasi rakyat, semestinya tuntutan masyarakat itu mereka selesaikan sendiri. Bukan malah dilempar ke lembaga lain.
Dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VI/MPR/2001 Tentang Etika Kehidupan Berbangsa (TAP MPR VI/2001) telah tegas disebutkan bahwa dalam etika politik dan pemerintahan, pemerintah dituntut untuk tanggap terhadap aspirasi rakyat.
Apabila secara moral kebijakan pemerintah bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat, maka pejabatnya harus siap mundur. Begitu kata TAP MPR VI/2001 yang sering dikutip oleh Mahfud MD sebelum jadi menteri.
Sekarang saya mau tagih ucapan Pak Mahfud itu: bersediakah Pak Mahfud mundur dari jabatannya atas sikap pemerintah yang tidak aspiratif terhadap tuntutan rakyat?