Jakarta, JurnalBabel.com – Otoritas Jasa Keuangan atau OJK mengeluarkan aturan baru yang mengharuskan produk asuransi kesehatan menerapkan pembagian risiko (co-payment) kepada pemegang polis atau peserta paling sedikit 10% dari total pengajuan klaim. Kebijakan ini berlaku mulai 1 Januari 2026.
Ketentuan itu tertuang dalam Surat Edaran (SE) OJK Nomor 7/SEOJK.05/2025 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan. Dengan demikian setiap pemegang polis wajib membayar minimal 10% dari total klaim saat menggunakan layanan kesehatan.
Aturan ini dibuat salah satunya untuk meningkatkan efisiensi pengeluaran layanan kesehatan, mengingat biaya medis terus meningkat dengan laju inflasi yang lebih tinggi dibandingkan inflasi umum.
Anggota Komisi IX DPR, Ashabul Kahfi, mengatakan aturan tersebut perlu diluruskan agar masyarakat tidak salah paham.
“Aturan ini tertuang dalam Surat Edaran OJK Nomor 7/SEOJK.05/2025, dan hanya berlaku untuk asuransi kesehatan swasta. Bukan untuk BPJS Kesehatan yang dikelola oleh negara,” kata Ashabul Kahfi dalam keterangan tertulisnya, Senin (16/6/2025).
Mesti tidak menyasar peserta JKN/BPJS Kesehatan, Ashabul menilai kebijakan ini tetap berpotensi memberatkan masyarakat kelas menengah yang bergantung pada asuransi swasta sebagai pelengkap layanan kesehatan.
“Sebelumnya, nasabah bisa mendapatkan pertanggungan penuh 100 persen. Tapi dengan aturan ini, mereka wajib menanggung sebagian biaya pengobatan dari kantong sendiri, minimal 10 %,” sesal Ashabul Kahfi.
OJK menyebut langkah ini sebagai bagian dari pengendalian inflasi medis. Menurutnya, mengalihkan beban ke nasabah bukan solusi jangka panjang. Yang seharusnya dilakukan, lanjutnya, memperbaiki sistem tarif rumah sakit, mengontrol harga obat, dan mendorong transparansi dari pihak penyedia layanan kesehatan.
“Jangan sampai publik justru kehilangan kepercayaan pada industri asuransi karena merasa dirugikan secara sepihak,” ujar Ashabul Kahfi.
Politisi PAN ini juga menilai kebijakan ini seharusnya melibatkan lebih banyak dialog publik, termasuk dari asosiasi pasien, organisasi konsumen, dan tentu saja DPR sebagai representasi rakyat.
“Jangan sampai niat efisiensi malah berdampak sebaliknya. Membatasi akses masyarakat terhadap perlindungan kesehatan yang layak dan terjangkau,” kata Ashabul.
Ashabul menambahkan, DPR RI akan meminta klarifikasi langsung dari OJK melalui rapat dengar pendapat untuk memastikan aturan ini tetap berada dalam koridor perlindungan konsumen, dan tidak menjadi beban tambahan yang tidak adil.
“Prinsip kami jelas, asuransi harus tetap menjadi alat bantu masyarakat, bukan malah jadi beban baru,” pungkas legislator asal dapil Sulawesi Selatan ini.