Jakarta, JurnalBabel.com – Penegak hukum diminta tidak bantah-bantahan di ruang publik terkait pengejaran boronan Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam kasus Bank Bali Djoko Tjandra.
Hal itu dikatakan anggota komisi III DPR Rahmat Muhajirin saat dihubungi, Rabu (15/7/2020), menanggapi surat jalan Djoko Tjandra diteken diteken Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri Brigjen Prasetyo Utomo.
Surat jalan untuk Djoko Chandra dikeluarkan Bareskrim Polri melalui Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS dengan Nomor: SJ/82/VI/2020/Rokorwas, tertanggal 18 Juni 2020. Dalam surat tersebut disebutkan Djoko Tjandra berangkat ke Pontianak Kalimantan Barat pada 19 Juni dan kembali pada 22 Juni 2020. Sementara, Brigjen Pol Prasetyo Utomo tidak memiliki kewenangan meneken surat jalan buronan kelas kakap tersebut.
Menurut Rahmat, saat ini kasus tersebut sedang diperiksa oleh Propam Polri. Sehingga ia menunggu hasil pemeriksaan tersebut seperti apa serta mengutamakan asas praduga tak bersalah.
Komisi III DPR juga sudah menerima surat jalan Djoko Tjandra dari Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI). Pihaknya pun segera menindaklanjuti dengan meminta kepada pimpinan DPR agar Komisi III bisa lakukan rapat gabungan bersama Kapolri, Jaksa Agung dan Dirjen Imigrasi Kemenkumham.
Politisi Partai Gerindra ini berpandangan rapat gabungan tersebut diperlukan agar tidak terjadi kesimpangsiuran informasi dan permasalahan menjadi jelas. Pasalnya, papar dia, Imigrasi menyebut Djoko Tjandra tidak terdeteksi di sistem perjalanannya. Polri bilang red notice sudah dicabut, sementara Kejagung sebut tidak mencabut red notice.
“Sebetulnya kelemahan ada dimana sih? yang Imigrasi Kemenkumham bilang tidak terdeteksi di sistem kami. Kepolisian sebut red notice sudah dicabut. Kejaksaan Agung bilang kita tidak pernah mencabut red notice. Akhirnya bantah-bantahan di ruang publik. Dari pada bantahan di ruang publik, lebih bagus bantah-batahan di ruang wakil rakyat di Komisi III,” kata Rahmat Muhajirin saat dihubungi, Rabu (15/7/2020).
Legislator asal Jawa Timur ini mengatakan saat ini rakyat sudah pintar. Sampai kapan pemerintah membodohi rakyat terus menerus. Saat ini yang bisa dilakukan tanggung jawab aparat penegak hukum seperti apa terhadap bangsa dan negara ini.
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR ini juga mendapat informasi bahwa ada sekitar 20-40 buronan kasus korupsi kabur ke luar negeri.
“Seperti ini kan lucu-lucuan, rakyat ini dibodohi, tidak selesai-selesai. Namanya koruptor lari ke luar negeri sejumlah itu. Artinya ada sistim kita yang salah. Ada ketidakseriusan penegak hukum disana,” ungkapnya.
Purnawirawan TNI AL ini menjelaskan tujuan dari reformasi yang sudah berjalan 22 tahun ini menghilangkan korupsi kolusin nepotisme atau KKN. Faktanya, KKN tidak berhenti justru semakin terstruktur sistematis dan masif.
“Semangat reformasi 98 kan menghilangkan KKN. Sampai OJK yang notabenya lembaga pengawas keuangan juga terlibat coba,” pungkasnya.
Tersangka Djoko Tjandra pertama kali dicegah bepergian ke luar negeri pada 24 April 2008. Red notice dari Interpol atas nama Joko Tjandra kemudian terbit pada 10 Juli 2009.
Pada 29 Maret 2012 terdapat permintaan pencegahan Djoko Tjandra ke luar negeri dari Kejaksaan Agung RI berlaku selama 6 bulan.
Kemudian pada 12 Februari 2015 terdapat permintaan DPO dari Sekretaris National Central Bureau (NCB) Interpol Indonesia terhadap Joko Tjandra.
Ditjen Imigrasi lalu menerbitkan surat perihal DPO kepada seluruh kantor imigrasi ditembuskan kepada Sekretaris NCB Interpol dan Kementerian Luar Negeri.
Pada 5 Mei 2020, terdapat pemberitahuan dari Sekretaris NCB Interpol bahwa ‘red notice’ atas nama Joko Tjandra telah terhapus dari sistem basis data terhitung sejak tahun 2014.
Ditjen Imigrasi menindaklanjuti hal tersebut dengan menghapus nama Joko Soegiarto Tjandra dari sistem perlintasan pada 13 Mei 2020. Namun pada 27 Juni 2020 Kejaksaan Agung meminta penerbitan DPO sehingga nama yang bersangkutan dimasukkan dalam sistem perlintasan dengan status DPO.
(Bie)
Editor: Bobby