Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi II DPR Fraksi Partai Demokrat, Ongku Parmonangan Hasibuan, meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI harus segera menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait mantan terpidana baru dapat mencalonkan diri sebagai anggota legislatif 5 tahun setelah keluar penjara.
Putusan tersebut diambil dalam sidang yang digelar pada Rabu (30/11/2022) dengan nomor 87/PUU-XX/2022 atas gugatan seorang warga Tambun Utara, Bekasi, Leonardo Siahaan, atas Pasal 240 ayat (1) huruf g pada Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu pada 8 September 2022.
Dalam gugatannya, pemohon mengemukakan beberapa dampak buruk akibat pasal itu, yang dinilai memberikan ruang bagi eks koruptor untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.
“Secara normatif, keputuaan MK wajib dilaksanakan segera. Untuk itu KPU harus menindaklanjutinya segera,” kata Ongku kepada jurnalbabel.com, Jumat (2/12/2022).
Menurut Ongku, apabila KPU tidak segera atau menunda-nunda menindaklanjuti putusan MK tersebut yang nantinya dituangkan kedalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU), maka tidak menghargai putusan MK yang bersifat final dan mengingkat.
“Tidak bisa ditunda-tunda, karena kalau demikian berarti tidak menghargai keputusan MK yang harusnya mengikat,” ujarnya.
Terkait apakah KPU RI perlu berkonsultasi dengan pemerintah dan Komisi II DPR dalam menyusun PKPU sebagai tindak lanjut putusan MK tersebut, Ongku mengatakan hal itu bisa saja dilakukan.
“Soal berkonsultasi ke Komisi II, bisa saja. Saya percaya, anggota Komisi II lainnya juga akan sependapat,” kata mantan Bupati Tapanuli Selatan ini.
Ongku juga sepakat dengan putusan MK tersebut. Khususnya kasus ekstra ordinary crime seperti pelaku korupsi, terlibat sebagai penyalur atau pelindung usaha produksi, perdagangan dan atau peredaran narkoba, illegal logging/fishing/mining, human trafficking, dan sejenisnya, kata dia, kalau perlu dicabut hak politiknya untuk dipilih dalam 10 atau 15 tahun.
Apalagi, lanjut Ongku, dengan praktek pelaksanaan hukuman yang bisa kompromi, penjara yang nyaman bisa diatur, remisi yang diberikan setiap tahun, tidak adanya penyitaan aset yang membuat pemiskinan para pelaku, tidak menimbulkan efek jera.
“Menurut hemat saya harus keras, biar ada efek jera,” tegasnya.
Ongku juga mengungkapkan bahwa dalam prakteknya hukuman buat para pelaku ekstra ordinary crime, di setting agar kurang dari 5 tahun, padahal mereka pelaku extra ordinary crime.
Lebih parah lagi, tambah Ongku, tidak ada hukuman sosial bagi eks napi seperti ini. Sebab, masyarakat mudah lupa, apalagi kalau sang eks napi berusaha jadi dermawan setelah keluar dari tahanan. Alhasil, para eks napi jenis ini merasa nyaman-nyaman saja.
“Kita harus menghadirkan rasa keadilan di masyarakat, dan harus menghormati dan memaruhi keputusan MK,” pungkasnya.
Sebagai informasi, Pasal 240 ayat 1 huruf g UU Pemilu sebelumnya mengatur syarat menjadi caleg yaitu “tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana”.
Melalui putusan nomor 87/PUU-XX/2022, MK menyatakan pasal tersebut tidak berkekuatan hukum sepanjang tidak diartikan bahwa “bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah WNI dan harus memenuhi persyaratan:
(i) tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa;
(ii) bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan
(iii) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang;
Salah satu pertimbangan Mahkamah, pasal 240 ayat (1) huruf g dianggap kontradiktif dengan persyaratan calon kepala daerah pada Undang-undang Pilkada, “sebagaimana telah dilakukan pemaknaan secara konstitusional bersyarat oleh Mahkamah”.
Padahal, persyaratan sebagai caleg maupun calon kepala daerah sama-sama persyaratan untuk jabatan yang dipilih publik.
“Maka pembedaan yang demikian berakibat adanya disharmonisasi akan pemberlakuan norma-norma tersebut terhadap subjek hukum yang sesungguhnya mempunyai tujuan yang sama yaitu sama-sama dipilih dalam pemilihan,” ujar amar putusan itu.
(Bie)