Jakarta, JURNALBABEL – Ungkapan Pahlawan Devisa yang ditujukan khusus kepada Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau buruh migran yang merantau bekerja di berbagai belahan dunia, sekilas sangat mulia bahkan sangat terhormat dengan tambahan kata ‘Pahlawan’.
Namun, pada kenyataanya, masyarakat Indonesia sering disuguhkan berbagai kabar dan berita tentang nelangsanya nasib para buruh migran di luar negeri.
Anggota MPR Fraksi Golkar Ikhsan Firdaus mengungkapkan, bahwa memang banyak sekali permasalahan buruh migran di luar negeri, namun saat ini menurut beberapa data termasuk dari migant care sendiri bahwa ada penurunan yang cukup siginifikan terkait buruh migran bermasalah.
“Seperti contoh kasus terbaru Siti Aisyah. Ending kasus tersebut adalah cermin bahwa pemerintah sudah mulai membangun satu concern tentang bagaimana kita melindungi warga negara kita di luar negeri,” kata Ikhsan dalam Diskusi Empat Pilar MPR RI bertema ‘Perlindungan dan Pemberdayaan Tenaga Kerja’ di media center gedung DPR, Senin (18/3/2019).
Untuk kedepan, lanjut Ikhsan, demi melindungi tenaga kerja migran Indonesia di luar negeri, memang perlu moratorium pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri terutama yang unskill. Lahirnya UU No.18 Tahun 2017 terkait perlindungan pekerja migrant Indonesia, menurut Ikhsan, sangat cukup untuk melindungi buruh migran.
“Saya sangat berharap ke depan juga ada agreement atau MoU yang jelas antara pemerintah kita dan pemerintah yang menbutuhkan tenaga kerja, tentang segala hal terkait perjanjian kerja TKI,” ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Koordinator Divisi Bantuan Hukum Migrant Care Nur Hasono mengatakan, bahwa soal unskill dari para buruh yang kemudian menjadi salah satu faktor masalah buruh migran selama ini bukanlah satu-satunya faktor. Ada beberapa faktor lain yang menyumbang banyak terhadap permasalahan seputar buruh migran.
“Pertama, unskill buruh migran memang menjadi satu faktor permasalahan. Namun, faktor yang lebih kompleks lagi adalah inkonsistensi penempatan kerja. Pekerja yang memiliki skill bidang malah di tempatkan agen dipekerjaan bidang B. Ketika terjadi pemeriksaan, para TKI yang penempatannya salah begini akan ditangkap dan dipenjara. Sebab, seperti di Malaysia penempatan kerja mesti sesuai dengan skill yang dimiliki si pekerja. Ini yang banyak menjadi masalah,” terangnya.
Lalu, lanjut Nur Hasono, masalah lainnya adalah pekerjaan yang tidak melihat batasan waktu. Ada pekerja yang mesti bekerja semalam 18 jam bahkan lebih sampai 24 jam tidak sesuai dengan Perjanjian Kerja (PK), upah juga diberikan secara tidak layak.
Belum lagi para pekerja tiba-tiba berhadapan dengan pemberi kerja atau majikan yang ‘usil’ dan memiliki anggapan bahwa buruh itu adalah budak sehingga bisa seenaknya melakukan apa saja. Walaupun skill para pekerja ada, tapi masalah-masalah seperti itu yang menjadi beban berat buat pekerja dan menjadi masalah berkepanjangan.
“Hal-hal itulah menurut saya yang harus diperhatikan pemerintah juga para wakil rakyat, untuk membuat satu aturan jangan hanya dibebankan kepada para pekerja tapi buatlah aturan ketat yang ditujukan juga kepada para agen dan juga negara yang membutuhkan tenaga kerja,” tandasnya. (Joy)
Editor: Bobby