Jakarta, JurnalBabel.com – Partai Buruh melakukan perbaikan permohonan pengujian formil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja) dalam persidangan yang digelar di Mahkamah Konstitusi pada Senin (5/6/2023).
Sidang kali kedua untuk perkara Perkara Nomor 50/PUU-XXI/2023 ini dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, dengan didampingi Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh.
Said Salahudin selaku kuasa hukum Partai Buruh dalam persidangan menyampaikan perbaikan permohonan mengenai penulisan judul dan sub-judul sebagaimana nasihat panel hakim pada persidangan sebelumnya.
“Prof. Enny juga memberikan nasehat agar judul dan sub-judul perlu disusun lebih jelas agar lebih mudah diidentifikasi dan kami sudah melakukannya antara lain misalnya menempatkan alasan pokok permohonan atau posita yang sebelumnya terlihat kurang jelas di halaman 17 juga kami sudah ubah posisinya ke halaman 23 bagian atas,” kata Said Salahudin.
Lebih lanjut Ketua tim khusus pemenangan Partai Buruh ini juga menerangkan, terdapat penambahan alat bukti yakni bukti P-11. Selain itu, Partai Buruh juga telah melakukan perbaikan untuk menggambarkan antar hubungan permohonan pengujian UU Cipta Kerja jilid 1 yang pernah diajukan oleh organisasi-organisasi serikat buruh, dengan permohonan pengujian UU Cipta Kerja jilid 2 yang diajukan oleh Partai Buruh.
Sebagai tambahan informasi, permohonan Nomor 50/PUU-XXI/2023 dalam perkara pengujian formil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja) ini diajukan Partai Buruh yang diwakili oleh Presiden Partai Buruh Said Iqbal dan Sekretaris Jenderal Partai Buruh Ferri Nuzarli.
Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Selasa (23/5/2023) Said Iqbal mengatakan, UU P3 adalah hanya akal-akalan dari DPR untuk membenarkan perppu yang kemudian disahkan menjadi UU Cipta Kerja.
“Dalam prosesnya ternyata terbukti tidak pernah satu kalipun kami diundang dan hanya berdasar UU P3 yang sudah disahkan terdahulu maka mereka menyatakan proses pembuatan UU Nomor 6/2023 yang mengesahkan Perppu Nomor 2/2022 sudah sesuai. Oleh karena itu, kami para buruh khususnya di ketenagakerjaan dan petani sangat dirugikan dalam mekanisme pembuatan UU tersebut karena tidak satupun pokok-pokok gagasan kami yang diterima,” terangnya.
Sementara dalam permohonannya, Partai Buruh (Pemohon) menjelaskan penetapan UU Cipta Kerja yang tidak sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum.
Tindakan Presiden dan DPR yang mengabaikan putusan MK jelas dan secara nyata bertentangan dengan prinsip negara hukum yang menghendaki bahwa seluruh lembaga negara termasuk lembaga pembentuk undang-undang harus tunduk dan taat pada hukum (konstitusi) termasuk pada putusan MK yang bersifat final dan mengikat.
Dalam petitum, Pemohon meminta MK menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan UUD 1945 dan oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
(Bie)
Sumber: mkri.id