Jakarta, JurnalBabel.com – Guru besar ilmu hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, Prof. Suparji Ahmad, mendorong agar Rancangan Undang-Undang Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) di DPR dapat menghasilkan sistem hukum yang kolaboratif antar aparat penegak hukum dan menjamin keadilan dalam penegakan hukum.
Suparji mengatakan semangat pembaruan KUHAP harus diarahkan untuk membangun kerja sama yang sinergis antar penegak hukum.
Menurutnya, hal tersebut sangat penting guna menghilangkan ego sektoral antar lembaga yang selama ini menjadi salah satu hambatan utama dalam proses penegakan hukum.
Salah satu isu krusial yang ingin diatasi adalah ego sektoral antar aparat penegak hukum (APH), yang selama ini dianggap menghambat proses hukum yang adil dan efisien.
Masalah Ego Sektoral dalam Penegakan Hukum:
- Terjadi persaingan kewenangan antar lembaga seperti kepolisian, kejaksaan, dan KPK
- Menimbulkan ketidakseimbangan dan konflik dalam penanganan perkara
- Berpotensi merugikan hak-hak warga negara, seperti salah tangkap atau proses hukum yang berlarut-larut
“Nah, tujuannya bagaimana RKUHAP dapat membangun sebuah sistem proses penegakan hukum itu yang bisa mencegah adanya ego sektoral antara aparat penegak hukum,” kata Prof. Suparji, Jumat (1/8/2025).
Suparji menekankan bahwa RKUHAP juga harus mampu menjawab akar masalah dalam sistem peradilan pidana nasional.
Dia menyebut tidak adanya mekanisme kontrol yang efektif antar aparat penegak hukum serta lemahnya pengawasan internal dan eksternal sebagai penyebab utama persoalan tersebut.
Lebih lanjut, Suparji berharap RKUHAP juga mampu mengatur secara rinci perlindungan terhadap hak-hak tersangka, terpidana, maupun terlapor.
Dalam proses hukum, menurut dia, pengadilan seharusnya memiliki peran penting dalam mengontrol tindakan aparat, termasuk dalam proses penyitaan, penetapan tersangka, hingga penangkapan.
Untuk diketahui, Pemerintah dan DPR RI telah selesai membahas 130 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dari total 1.676 DIM RUU tersebut, sementara sisanya sekitar 1.500 DIM tidak dibahas karena bersifat tetap, reposisi, dan redaksional.
Sebanyak 130 DIM ini sudah selesai dibahas pada tanggal 10 Juli 2025.
Komisi III DPR RI selanjutnya membentuk Tim Perumus (Timus) dan Tim Sinkronisasi (Timsin) untuk membahas dan memperbaiki hal-hal yang sudah diubah dan yang bersifat redaksional.