Jakarta, JurnalBabel.com – Guru besar ilmu hukum Universitas Al Azhar Indonesia, Prof. Suparji Ahmad, mengingatkan Kejaksaan Agung (Kejagung) agar tidak terpengaruh oleh kepentingan politik dalam penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook pada program digitalisasi pendidikan di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tahun 2019 hingga 2022.
Ia menekankan pentingnya penanganan perkara ini secara independen dan berlandaskan hukum.
“Harapannya ini diproses sesuai mekanisme berlaku, sampai tuntas dan kemudian membuat terang perkara ini dan tidak ada hal-hal di luar hukum. Kemudian harus independen, harus ekstra,” kata Suparji, dilansir, Selasa (29/7/2025).
Suparji menambahkan, Kejagung harus berani menetapkan tersangka jika sudah mengantongi dua alat bukti. Ia menilai, prinsip kesetaraan di mata hukum harus dijunjung tinggi.
“Harus independen bahwa tidak ada terbang pilih, tidak ada diskriminasi yang mulai diperlakukan. Kalau memang ada unsur, ada alat bukti, maka diproses sesuai hukum yang berlaku,” ujarnya.
Menurutnya, kasus ini sekaligus menjadi kesempatan memperbaiki sistem pendidikan nasional.
“Sehingga ini menjadi dalam pelayanan pada masyarakat, apalagi pendidikan harus betul-betul kepentingan masyarakat rakyat kepentingan pendidikan khususnya. Tidak boleh ada penyimpangan-penyimpangan,” tuturnya.
Ia juga merespons lambatnya proses hukum terhadap mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim. Menurutnya, hal tersebut bisa disebabkan oleh strategi dan kehati-hatian penyidik.
“Belum berlarut-larut, masih hitungan bulan. Coba bandingkan dengan kejahatan penetapan yang lain dan lebih lama,” jelasnya.
Suparji menjelaskan, politisasi hukum dapat dikenali dari intervensi kekuatan politik terhadap jalannya perkara.
“Unsur politis itu kan bagaimana ada kekuatan politik yang berperan, kan gitu. Bisa dalam bentuk intervensi, mempengaruhi dalam arti untuk menghentikan satu perkara kan itu. Atau untuk melokalisir satu perkara untuk nama-nama tertentu, nama-nama yang nggak tersentuh. Atau ada intervensi untuk melakukan pilihan dakwaan atau sangkaan,” ungkapnya.
Sementara itu, Kejagung belum menetapkan Nadiem Makarim sebagai tersangka, meski telah dua kali diperiksa. Pemeriksaan dilakukan pertama pada Senin (23/06/2025) selama hampir 12 jam, dan kedua pada Selasa (15/07/2025) selama sembilan jam.
Eks Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, menyampaikan alasan penyidik.
“Kenapa tadi NAM sudah diperiksa mulai pagi sampai malam kemudian hari ini belum ditetapkan sebagai tersangka? Karena berdasarkan kesimpulan penyidik masih perlu pendalaman alat bukti,” ujarnya di Jakarta Selatan, Selasa (15/07/2025).
Empat tersangka telah lebih dulu dijerat, yakni Jurist Tan, mantan staf khusus Mendikbudristek; Ibrahim Arief, mantan konsultan teknologi; Sri Wahyuningsih, eks Direktur Sekolah Dasar sekaligus KPA Direktorat SD; dan Mulyatsyah, eks Direktur SMP serta KPA Direktorat SMP.
Kejaksaan mencatat, proses pengadaan Chromebook melibatkan rekayasa sejak tahap awal. Grup WhatsApp internal “Mas Menteri Core Team” dibentuk pada Agustus 2019 untuk menyusun program digitalisasi berbasis ChromeOS. Usai dilantik, Nadiem menginstruksikan timnya menjalin komunikasi dengan Google guna mendorong skema co-investment dan penggunaan Chromebook secara luas.
Kajian teknis dibuat untuk menyesuaikan spesifikasi yang mengarah pada produk tertentu. Arahan pengadaan bahkan diberikan secara langsung kepada vendor pada malam hari, 30 Juni 2020, di sebuah hotel di Bintaro.
Kerugian negara ditaksir mencapai Rp1,98 triliun, terdiri atas mark-up harga laptop Rp1,5 triliun dan pembelian perangkat lunak Chrome Device Management senilai Rp480 miliar. Sebanyak 1,2 juta unit Chromebook senilai total Rp9,3 triliun dilaporkan tidak optimal di wilayah 3T akibat keterbatasan sistem operasi.