Jakarta, JurnalBabel.com – Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (RUU BUMN) sudah masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2022, yang diusulkan oleh Komisi VI DPR. Saat ini, RUU tersebut sedang tahap harmonisasi di Badan Legislasi (Baleg) DPR.
Anggota Komisi VI DPR Fraksi Partai Gerindra, Hendrik Lewerissa, mengatakan naskah akademik RUU BUMN yang disusun oleh Komisi VI DPR, bukan semata-mata mengejar target Komisi VI mengusulkan paling sedikit 1 RUU dalam masa persidangan DPR tahun ini.
“Saya percaya betul bahwa usulan Komisi VI merevisi UU BUMN ini berdasarkan suatu realitas bahwa memang UU ini sudah berusia 20 tahun. Dalam kurun waktu 20 tahun, tentu perubahan masyarakatnya cepat terjadi. Termasuk kehidupan ber BUMN,” kata Hendrik Lewerissa saat rapat pleno mendengarkan harmonisasi RUU BUMN di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, kemarin.
Menurutnya, saat ini banyak BUMN yang kalah bersaing dengan swasta, bangkrut dan bermasalah. Padahal ada elemen negara disana. “Memang harus ada pengaturan baru dalam UU baru tentang BUMN,” tegasnya.
Hendrik yang juga anggota Baleg DPR ini menjabarkan beberapa point dalam RUU tersebut. Pertama, soal penugasan khusus kepada BUMN. Hendrik menyontohkan apakah Badan Usaha Perseroan (Persero) yang dibentuk ditugaskan mencari keuntungan dibebankan dengan penugasan khusus? Bukannya hal itu menurut Hendrik menjadi tugas Perusahaan Umum (Perum).
Contoh lainnya, lanjut Hendrik, BUMN karya banyak yang bermasalah karena ditugaskan oleh negara untuk membangun jalan Tol, infrastruktur, mega proyek yang lain tapi tanpa didukung pendanaan yang memadai. Mereka harus menjadi berdarah-darah karena harus menggunakan cash flow sendiri.
“Nah kita punya kepentingan hukum dan politik untuk memastikan bahwa kalau kita ingin BUMN kita ini sehat, maka ini harus diatur. Kalau negara ini memberikan penugasan, sertai juga dengan pendanaan yang memadai,” ujarnya.
Kedua, terkait pengawasan. Hendrik mengatakan DPR mempunyai kewenangan untuk mengawasi siapa saja. Dalam konteks BUMN, DPR hanya bisa mengawasi BUMN. Sementara kebijakan holding, saat ini DPR tidak punya jangkauan untuk mengawasi anak-anak perusahaan BUMN.
“Ini juga bermasalah bagi kita. Padahal kita tahu banyak anak perusahaan BUMN yang sehat dan juga bermasalah,” ungkapnya.
Selain itu, kata Hendrik, ada permasalahqn soal dogma hukum bahwa apakah anak perusahaan BUMN itu BUMN atau bukan. Mayoritas pandangan akademisi, sebut dia, anak perusahaan BUMN bukan BUMN karena pemegang saham dan pemiliknya entitas perusahaan bukan negara.
Ketiga, upaya memasukan menyehatkan BUMN dikaitkan dengan siklus APBN. Hendrik menjelaskan belajar dari kasus Jiwasraya apabila direspon cepat oleh Kemenkeu, Jiwasraya tidak akan berdarah-darah seperti yang terjadi saat ini. Bahkan ia yakin betul kerugian negara tidak besar seperti yang terjadi saat ini. Pasalnya, hal itu dikaitkan dengan siklus APBN yang butuh waktu.
Sebab itu, legislator asal Maluku ini berpandangan ada kebutuhan hukum untuk mengatur BUMN ini agar bisa menjadi BUMN yang sehat, fleksibel, lincah, bisa bersaing dengan swasta dan bisa menjadi kontributor yang defiden untuk negara.
“Apa yang diperjuangkan Komisi VI relevan, karena memang ada kebutuhan hukum yang sangat mendesak untuk merevisi UU BUMN yang telah berusia 20 tahun,” pungkasnya. (Bie)