Jakarta, JurnalBabel.com – Dosen hukum pidana Universitas Bung Karno Jakarta, Azmi Syahputra, menyatakan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI (RUU Kejaksaan) akan membuat penegak hukum berebut kewenangan, kekuasaan dan hilangnya fungsi saling koreksi.
Pasalnya, dalam Pasal 1 Ayat (1) draft RUU Kejaksaan disebutkan bahwa jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-Undang (UU) untuk bertindak dalam fungsi penyelidikan dan penyidikan, penuntutan, pelaksana putusan pengadilan, pemberian jasa hukum, penyelesaian sengketa di luar pengadilan, dan pengacara negara serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.
Menurut Azmi, pasal tersebut tidak sesuai dengan tugas utamanya Kejaksaan yang berfungsi sebagai unsur utama lembaga penuntutan.
Operasional kewenangan Kejaksaan dalam RUU ini, sebut Azmi, akan berkait dengan hukum acara pidana, sehingga bila dikaitkan dengan konsep Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang difrensasi fungsional yang berarti mengatur ada batasan, pembagian tugas dan wewenang agar ada mekanisme saling checking antar lembaga penegak hukum, untuk mengetahui dimana terjadi hambatan dalam sistem peradilan pidana, sehingga dapat saling mengkoreksi.
Namun jika Jaksa juga masuk dalam penyelidikan, penyidikan, tambah Azmi, ini bisa membuat jadi hilangnya titik keseimbangan antar lembaga penegak hukum karena polisi dan jaksa berposisi sama-sama dalam fungsi eksekutif menjalankan kekuasaan kehakiman dalam konteks penegakan hukum pidana.
“Hal ini sangat jelas terlihat jika membaca RUU Kejaksaan dalam pasal 1 ayat 1 jo penjelasan RUU pada point 2 sangat tampak adanya hasrat bahwa RUU Kejaksaan ditujukan untuk melakukan penyempurnaan kewenangan khususnya penyelidikan, penyidikan, maka jika ini disetujui akan terjadi timbul keruwetan dalam praktik, benturan kepentingan dalam sistem peradilan pidana, saling rebut kekuasaan dan kewenangan penyidikan,” kata Azmi dalam keterangan tertulisnya, Minggu (27/9/2020).
Perubahan dalam RUU Kejaksaan yang dimaksud demi menguatkan eksistensi fungsi insitusi, katanya, akan hilang tujuannya jika ranah penyelidikan tanpa batas juga ditarik oleh jaksa.
Hal ini menurutnya akan membuat lembaga antar sesama penegak hukum dapat jalan masing-masing, perang kewenangan atas nama UU, sehingga ego sektoral antar penegak hukum semakin mengkrucut. Apalagi jaksa yang diketahui sebagai satu-satunya institusi yang dapat menentukan apakah suatu perkara dapat diajukan ke tahap penuntutan atau tidak.
“Termasuk sebagai pengendali perkara (asas dominus litis) bila ditambah lagi dengan kewenangan penyelidikan dan penyidikan maka hilanglah konsep difrensasi fungsional, hilanglah saling kontrol antar penegak hukum dalam sistem peradilan pidana, karena bisa dihandle jaksa sendiri maka terjadilah kesemerawutan dalam penegakan hukum,” jelasnya.
Agar kejaksaan lebih profesional, Ketua Asosiasi Ilmuwan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha) ini mengharapkan dalam RUU ini saatnya mengembalikan fungsi jaksa sebagai unsur utama dalam sistem peradilan dalam penuntutan dan pengkoreksi di tingkat tugas-tugas penyidikan Kepolisian
“Bukan pula masuk untuk jadi berfungsi sebagai penyidik dan memperkuat fungsinya sebagai pengendali perkara, dan tugas yang sifatnya antisipatif, konsultatif dan rekomendasi pada pemerintah dari aspek hukum,” pungkasnya.
(Bie)