Jakarta, JurnalBabel.com – Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) di DPR Sukamta menyatakan tidak ada urgensinya wacana pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan juga penyesuaian hidup berdampingan dengan Covid-19 sebagaimana dinyatakan Presiden Jokowi dalam beberapa kesempatan, disampaikan kepada publik. Pasalnya, sejak awal rakyat Indonesia sudah dibiarkan untuk hidup berdampingan dengan Covid-19 dengan berbagai wacana pemerintah yang tidak menentu arahnya.
Sehingga muncul pertanyaan bagaimana masyarakat akan disiplin dengan kebijakan pemerintah jika wacana yang muncul malah membingungkan. Sukamta pun mengutip pernyataan Presiden Jokowi hari ini melalui siaran akun YouTube Sekretariat Presiden ‘Saya tegaskan belum ada kebijakan pelonggaran PSBB. Karena muncul, keliru di masyarakat bahwa pemerintah mulai melonggarkan PSBB. Belum. Belum ada kebijakan pelonggaran’.
Sukamta menilai pernyataan tersebut Pak seakan menyalahkan masyarakat yang dianggap keliru pahami wacana-wacana pemerintah. Seharusnya kata Sukamta bahwa semestinya yang distop adalah wacana-wacana pemerintah, termasuk wacana Presiden di beberapa kesempatan yang kemudian malah jadi bahan olok-olok di media sosial.
“Kan kasihan pak Presiden, pernyataan yang beliau sampaikan akhirnya dianggap sebagai lelucon di kala pandemi. Jadi jangan salahkan masyarakat jika wacana-wacana pelonggaran ini dianggap sebagai tanda Pemerintah menyerah dalam menangani Covid-19,” kata Sukamta dalam keterangan tertulisnya, Senin (18/5/2020).
Menurut anggota komisi I DPR ini, mestinya jika kebijakan yang dibuat pemerintah merupakan hasil kajian yang mendalam, pemerintah mestinya secara sungguh-sungguh melaksanakannya dan kemudian dievaluasi secara berkala. Pada akhirnya hal itu terkesan pemerintah buat kebijakan PSBB, daerah berusaha laksanakan dengan sungguh-sungguh tetapi malah pemerintah sendiri yang mengingkari dengan wacana-wacana pelonggaran.
Perlu diingat pada 1 April 2020, Presiden sampaikan mengapa kebijakan PSBB yang dipilih, bukan karantina wilayah karena alasan supaya ekonomi masyarakat bisa berjalan dan juga dianggap PSBB ini paling sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia. Ternyata setelah PSBB berjalan di beberapa daerah, banyak kegiatan ekonomi masyarakat yang terganggu. Bahkan di daerah yang tidak diberlakukan PSBB pun ekonomi terganggu.
Sukamta berpendapat bahwa hal ini menunjukkan kebijakan PSBB yang ditempuh pemerintah masih sisakan dua masalah besar. Pertama, tidak mampu kendalikan penyebaran Covid-19 karena hingga hari ini data penambahan positif Covid-19 belum menunjukkan kurva landai. Kedua, ternyata juga tidak mampu selamatkan ekonomi masyarakat sebagaimana alasan ini digunakan untuk tetapkan kebijakan PSBB.
“Saya kira ini menunjukkan pemerintah tidak tahu mana yang prioritas untuk ditangani, pinginnya semua bisa diatasi tetapi malah nggak dapat dua-duanya,” ujarnya.
Lebih lanjut Anggota DPR asal Yogyakarta ini menilai wacana yang dikeluarkan oleh pemerintah baik soal relaksasi PSBB dan berdamai dengan virus corona tidak didasarkan kepada data-data yang secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan.
Ia menduga Pemerintah saat ini sedang alami kebingungan, karena setelah berjalan 2,5 bulan sejak kasus positif pertama diumumkan, Covid-19 telah menyebar merata ke seluruh provinsi dan hampir 400 kab/kota di Indonesia yang membuat skema penanganan menjadi lebih rumit karena kondisi sarpras dan SDM kesehatan di daerah tidak sama.
Sementara anggaran penanganan diskenariokan hanya untuk 3-6 bulan, ini bisa dilihat dari skema bansos jaring pengaman seperti BLT Desa untuk durasi 3 bulan seperti info Menko PMK dialokasikan kepada 12,3 juta KK penerima manfaat, sebesar Rp600.000 per bulan mulai dari April sampai Juni 2020.
“Dengan adanya wacana berupa skenario di bulan Juni atau Juli aktivitas masyarakat baik pendidikan dan ekonomi sudah mulai kembali normal, seakan pemerintah sudah lepas tanggung jawab untuk berikan bansos jaring pengaman sosial untuk masyarakat yang terdampak. Jangan-jangan anggaran pemerintah untuk jaring pengaman sosial memang sudah habis hingga bulan Juni, sehingga wacana pelonggaran sering dimunculkan. Kan kacau jika ini yang sesungguhnya terjadi,” katanya.
Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR ini memaparkan, jika Pemerintah mau serius jalankan skenario “new normal”, ada beberapa syarat yang perlu dipenuhi. Pertama, harus dipastikan kurva perkembangan Covid-19 landai secara stabil sebagai hasil tes swab yang dilakukan secara optimal dan penanganan secara kesehatan secara maksimal. Kedua, dipastikan seluruh masyarakat mengetahui protokol kesehatan yang harus dijalankan dengan senantiasa menjaga jarak, mengenakan masker dan rajin mencuci tangan.
Ketiga, dipastikan jumlah rumah sakit dengan sarpras ruang isolasinya berjumlah cukup untuk antisipasi lonjakan pasien yang mungkin terjadi jika dilakukan pelonggaran. Keempat, pemerintah memastikan ketercukupan jumlah APD untuk tenaga medis dan masker untuk kebutuhan masyarakat.
“Pertanyaannya, apakah sudah terpenuhi kesemua syarat tersebut, jika belum sangat riskan kebijakan pelonggaran dilakukan. Pemerintah semestinya merujuk sepenuhnya kepada pendapat para ahli di bidang kesehatan dan epidemiologi dalam membuat kebijakan yang terkait penanganan Covid-19, bukan para pembisik yang punya kepentingan ekonomi sesaat,” pungkasnya. (Bie)
Editor: Bobby