Jakarta, JurnalBabel – Ketua Asosiasi Ilmuan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha), Azmi Syahputra, berpendapat putusan banding atas perkara suap mantan sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi dan menantunya Rezky Herbiyono mencederai rasa keadilan publik.
Pada pengadilan tingkat pertama, Nurhadi dan menantunya divonis bersalah menerima suap Rp 35,7 miliar dan gratifikasi Rp 13,7 miliar dari pengurusan perkara di beberapa pengadilan. Keduanya divonis 6 tahun penjara. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan vonis ini.
Sementara, jaksa KPK dalam tuntutannya menyatakan Nurhadi dan Rezky menerima uang lebih banyak, yaitu suap Rp 45,7 miliar dan gratifikasi Rp 37,2 miliar. Jaksa menuntut Nurhadi dihukum 12 tahun penjara dan Rezky 11 tahun.
Sebab itu, Azmi menilai sangat layak Jaksa KPK mengajukan kasasi untuk menguji apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan sebagaimana mestinya oleh majelis hakim banding. Mengacu pasal 253 KUHAP termasuk guna membatalkan putusan pengadilan banding Nurhadi.
Pasalnya, lanjut Azmi, karakteristik perbuatan Nurhadi dalam melakukan perbuatan korupsi sangat sistemik, terencana dan sengaja bekerja sama dengan menantunya untuk ikut menerima suap dan gratifikasi terkait perkara. Termasuk dalam proses jual beli putusan hakim di Mahkamah Agung.
Menurut Azmi, sangat miris sebagai orang yang punya jabatan di MA justru menyalahgunakan jabatannya. Bukan menjaga kehormatan lembaga pengadilan tetapi justru menjadi pelaku menerima suap, gratifikasi dan menggunakan uang tersebut untuk kepentingan pribadi yang dalam aksinya berkolaborasi dengan menantunya.
“Kalau hukumannya seperti ini, orang semakin tidak takut korupsi, serasa di penjara pelaku dapat gaji dengan uang suap dan gratifikasi selama ini ia terima. Apalagi dalam putusan ini tidak pula dikenakan hukuman pembayaran uang pengganti. Uang puluhan miliar yang diterima selama ini jadi aman, bisa dipergunakan terdakwa,” kata Azmi dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (17/7/2021).
Lebih lanjut dosen hukum pidana Universitas Trisakti Jakarta ini mengatakan pidana penjara terhadap Nurhadi sebenarnya bisa dijatuhkan lebih berat yang setidaknya memenuhi tuntutan jaksa 12 tahun.
Beberapa hal yang bisa menjadi pemberat, papar Azmi, unsur menerima suap, hadiah dan janji yang terbukti di persidangan serta dengan jelas dan nyata menyalahgunakan jabatannya sebagai salah satu unsur penyelenggara strategis di MA selaku sekretaris MA. Termasuk Nurhadi juga berstatus buronan Daftar Pencarian Orang (DPO).
Azmi menyinggung fenomena vonis lebih tinggi dari tuntutan ini juga pernah terjadi dalam kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya.
“Jadi sangat bisa perberat terkait hukumannya kalau hakim berani melakukan terobosan hukum. Dalam hal ini terkait lamanya putusan pemidanaan badan pada terdakwa, mengingat karakteristik perbuatan pelaku,” ujarnya.
Jika praktik peradilan tidak bisa terus memberikan keadilan sebagaimana diketahui pemangkasan vonis juga pernah terjadi di kasus Pinangki, maka publik pun semakin sulit berharap pada lembaga peradilan.
“Sulit mengharapkan kualitas penegakan hukum kalau pengadilan sebagai benteng terakhir keadilan, tidak lagi menjaga kewibawaan peradilan. Seolah dengan praktik putusan yang ada, lembaga penegak hukum terpeleset dan terjerumus ke dalam praktik kepentingan,” pungkasnya. (Bie)