Jakarta, JurnalBabel.com – Pakar hukum tata negara dan konstitusi Universitas Muslim Indonesia, Fahri Bachmid, menilai mekanisme dan sistem pemilu dengan model “close list propotional” atau sistem proporsional tertutup tetap konstitusional serta terjaminya derajat demokratisnya.
Secara teoritik, sistem tertutup itu dapat memperkuat sistem Presidensialisme serta penguatan kualitas demokrasi konstitusional Indonesia. Pada sisi lainnya, negara dapat mengorganize partai politik menjadi lebih kuat, dan aspiratif.
Hal tersebut dikatakan untuk merespons polemik diskursus terkait penerapan sistem proporsional tertutup pada Pemilu 2024, yang mana sebanyak delapan partai politik (parpol) yaitu, Partai Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, Partai Demokrat, PKS, PAN dan PPP, secara terbuka mengumumkan penolakan wacana tersebut diterapkan pada Pemilu 2024.
Fahri Bachmid berpandangan hakikatnya diskursus konstitusional berkaitan dengan pilihan-pilihan sistem atau model Pemilu secara konseptual. Idelanya diarahkan kepada sistem Pemilu dan penguatan sistem presidensialisme sebagai sebuah preferensi yang telah diterima dan diatur dalam konstitusi UUD 1945, agar dipertimbangkan untuk merancang kembali desain sistem Pemilu yang mampu memperkuat sistem Presidensialisme pada satu sisi dan serta kualitas demokrasi Deliberatif
Indonesia pada sisi lainnya,
“Idelanya proposional tertutup memiliki banyak keunggulan, sistem ini mampu meminimalisasi politik uang, karena biaya Pemilu yang lebih murah jika dibandingkan dengan sistem proporsional terbuka. Proporsional tertutup memastikan bahwa masyarakat cukup memilih partai dan nantinya partai yang akan mendelegasikan kader-kader potensial dan terbaiknya keparlemen, sesungguhnya Partai paham betul bahwa siapa kader mereka yang punya kapasitas, integritas, serta yang memahami ideologi dan konsep bernegara,” kata Fahri Bachmid dalam keterangannya, Kamis (12/1/2023).
Secara empirik, lanjut Fahri, Indonesia pernah menggunakan dua varian itu, yaitu pada Pemilu 1955, Pemilu Orde Baru, dan Pemilu tahun 1999, dengan menggunakan daftar tertutup. Sedangkan pasca-Perubahan UUD 1945, pilihan dengan menggunakan daftar terbuka, dan di praktekan pada Pemilu Legislatif 2004, 2009, 2014, dan 2019.
Bahkan secara khusus untuk Pemilu 1955 melalui sistem tertutup menghasilkan anggota parlemen yang berkualitas tinggi serta negarawan. Hal tersebut dapat dicermati dengan pembahasan serta perdebatan akademik dan politik dalam sidang-sidang konstituante dalam pembahasan UUD definitif, yang mana perdebatan berlangsung secara cerdas dan substansial sesuai kapasitas anggota Parlemen.
“Ini salah satu cerminan bahwa dengan sistem tertutup, tentunya Partai dapat mewadahi prinsip representasi dan sekaligus kualitas demokrasi, ini sangat kredible,” ujarnya.
Fahri Bachmid yang juga sebagai Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi dan Pemerintahan Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia (PaKem FH-UMI) ini berpendapat bahwa secara teoritik, sesungguhnya tidak ada model sistem pemilu yang ideal di dunia ini, yang ada hanyalah sebuah sistem pemilu yang tepat, dan yang paling cocok di satu negara tertentu dengan corak politik, kultur-budaya serta keadaan demografi setempat yang tentunya tidak sama antara negara yang satu dengan yang lainya.
“Secara akademis, sesungguhnya tidak ada satu pun sistem pemilu yang mampu memenuhi semua kebutuhan politik nasional atau semua kepentingan kelompok “Interest Group” politik tertentu. Yang dapat dirancang adalah mengkonstruksikan “manageable”
sebuah sistem pemilu yang tepat sesuai dengan kebutuhan kondisi, baik secara historis, sosiologis, dan politis daripada suatu masyarakat beradad,” jelasnya.
Fahri Bachmid mengatakan bahwa proyeksi membangun sistem pemilu yang kredible serta futuristik untuk 2024 harus mampu meningkatkan derajat representasi dan akuntabilitas anggota DPR. Kemudian memastikan sistem pemilu harus mampu menghasilkan produk sistem kepartaian dengan jumlah partai sederhana. Selain itu, sistem pemilu harus mudah diselenggarakan serta ekonomis, serta mampu mengeleminir praktek politik transaksional.
“Sistem pemilu dengan Episentrum pada calon atau ‘candidacy centered’ menjadi perlu di ‘engineering’ kembali agar menjadi sistem pemilu yang berorientasi serta berpusat pada partai atau ‘party centered’, dan terhadap permasalahan tersebut, maka opsi proporsional tertutup adalah sebuah keniscayaan konstitusional,” tegasnya.
Fahri Bachmid menguraikan bahwa sistem dengan “Close List Propotional” atau sistem proposional tertutup pada prinsipnya telah sejalan dengan spirit demokrasi yang dianut dalam UUD NRI Tahun 1945, yang berorientasi agar mendorong peningkatan peran partai politik dalam kaderisasi sistem perwakilan.
Kemudian mengakselarasi institusionalisasi partai politik, menjadikan simplifikasi penilaian kinerja partai politik oleh publik serta mereduksi politik uang kepada masyarakat serta korupsi politik, dan secara “vice versa” sesungguhnya “Open List Propotional” atau Proposional Terbuka cenderung menyuburkan demokrasi liberal serta berwatak oligarkis,diwarnai kekisruhan, Praktek kotor politik serta “Vote Buying”dan kecurangan sistemik dalam bentuk lainnya.
“Hal yang demikian dapat dikonstatasi dari apa yang pernah dialami oleh Brazil dengan gagalnya sistem tersebut, oleh karena sistem terbuka “given” serta terjadinya polarisasi politik yang sangat tajam dan serius, persiangan menimbulkan politik identitas, yang kadang-kadang dilandasi sentimen-sentimen primordial, baik primordialisme keagamaan, kesukuan, atau kedaerahan hal demikian akan tercipta suatu praktek ‘kanibalisme politik’ yang jauh dari demokrasi sejati,” urainya.
Menurut Fahri Bachmid, secara konstitusional, “Close List Propotional” atau sistem proposional tertutup sesungguhnya telah senafas dengan ketentuan norma Pasal 22E ayat (3) UUD 1945, yang mengatur bahwa “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik”.
Jadi, kata Fahri, basis legal konstitusional dari pelaksanaan sistem Pemilu untuk anggota DPR/DPRD pesertanya adalah partai politik, berbeda dengan ketentuan norma Pasal 22E ayat (4) UUD 1945 untuk memilih anggota DPD RI, yang mengatur bahwa “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan” kalau untuk memilih calon anggota DPD RI basisnya adalah perseorangan, jika nantinya pemohon berhasil membuktikan dengan bangunan argumentasi konstitusionalnya yang kuat terkait kerugian jika tidak menerapkan sistem proporsional tertutup dalam Pemilu, dan Mahkamah Konstitusi memutus sesuai dalil permohonan pemohon agar sistem Pemilu dilaksanakan dengan proporsional tertutup.
“Secara teknis salah satu upaya Pembentuk UU kedepannya adalah agar UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dapat dilakukan amandemen untuk mengatur semacam pranata Pemilihan pendahuluan atau mekanisme kandidasi pada internal partai politik agar mengakomodasi kaidah serta prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik secara bermakna, agar tercipta kematangan berdemokrasi yang sejalan dengan nilai-nilai pancasila serta demokrasi konstitusional yang kita anut,” pungkas Fahri Bachmid.
(Bie)