JurnalBabel.com – Komisi II DPR melakukan Rapat Kunjungan Kerja Spesifik ke Kantor Pertanahan Kota Surabaya I, Surabaya pada Senin (1/7/2024).
Dalam kesempatan ini dibahas permasalahan ‘Tanah Surat Ijo’ yang menjadi polemik antara Pemerintah Kota Surabaya dan keinginan masyarakat yang menguasainya untuk diterbitkannya Sertifikat Hak Milik atas lahan tersebut.
‘Tanah Surat Ijo’ merujuk pada tanah aset pemerintah Kota Surabaya yang dikuasai dan dipergunakan oleh masyarakat secara turun temurun.
Izin Pemakaian Tanah (IPT) atas lahan tersebut dikeluarkan menggunakan map berwarna hijau yang kemudian menjadi awal penyebutan ‘Tanah Surat Ijo’.
“Kasus tanah surat ijo merupakan satu fenomena kekinian yang tidak lepas dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia, khususnya dalam hal tata kelola tanah,” ujar Anggota Komisi II DPR, Rahmat Muhajirin, dalam sambutan pengantar rapat di Kantor Pertanahan Kota Surabaya I, Surabaya pada Senin (1/7/2024).
Surat Ijo yang semula dimaksudkan sebagai resolusi Konflik Pertanahan yang terjadi pada awal kemerdekaan NKRI justru menimbulkan polemik baru. Masyarakat Pemegang Ijin Pemakaian Tanah (IPT) merasa keberatan terhadap Retribusi (sewa) dan Pajak PBB setiap tahunnya yang dikenakan terhadap Tanah yang dikuasai. Masyarakat juga menghendaki agar tanah yang dikuasai tersebut dapat diterbitkan Sertifikat Hak Milik.
“Paradigma penyewaan tanah di kota Surabaya yang didasarkan pada Peraturan Daerah Kota Surabaya No. 22 Tahun 1977 tentang Ijin Pemakaian Tanah merupakan indikasi masih bercokolnya semangat kolonialisme pada era kemerdekaan. Rakyat sebagai penyewa dan Pemerintah Kota Surabaya sebagai pihak yang menyewakan tanah. Tak pelak legislasi itu menuai protes dari warga penghuni tanah surat ijo,” jelas Legislator Dapil Jawa Timur I itu.
Keinginan warga ‘Tanah Surat Ijo’ untuk memiliki SHM atas tanah yang dikuasai diajukan berdasarkan PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Dalam aturan tersebut, dinyatakan bahwa tanah yang dihuni warga selama lebih 20 tahun secara berturut-turut, bisa disertifikatkan menjadi hak milik penghuni.
Memperjuangkan tanah yang dikuasainya, warga juga berpegang Peraturan Menteri Negara Agraria atau Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1998 tentang Perubahan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai Atas Tanah Untuk Rumah Tinggal yang Dibebani Hak Tanggungan Menjadi Hak Milik. Adapun esensi dari aturan tersebut adalah memberikan peluang seluas-luasnya bagi perubahan status tanah negara untuk menjadi tanah hak milik warga Negara Indonesia.
“Perbedaan cara pandang antara masyarakat dan Pemkot Surabaya dalam menyikapi berbagai peraturan perundangan yang ada, terkait dengan permasalahan kewenangan Pemerintah Daerah, pengaturan tentang aset negara serta pendaftaran tanah menjadi bagian dari beberapa hal yang mengemuka pada isu pertanahan ini,” lanjut Rahmat.
Sebagaimana yang disampaikan Kepala Kantor Pertanahan Surabaya I, berdasarkan data Pemerintah Kota Surabaya terdapat 49.439 bidang tanah yang memiliki Ijin Pemakaian Tanah (IPT). Mayoritas diantaranya adalah rumah tinggal (40.920 bidang), Fasilitas Umum (648 bidang) dan Perdagangan dan Jasa (7.871 bidang).
Dalam kesempatan tersebut disinggung pula kasus tanah PT KAI di wilayah Kota Surabaya. Komisi II DPR RI juga mengundang Kantor Pertanahan Kabupaten Sidoarjo, Komisi II DPR RI ingin mengetahui secara detail tentang Penataan Ruang di Kabupaten Sidoarjo, khususnya isu-isu strategis yang membutuhkan perhatian khusus terkait masalah agraria dan tata ruang serta pertanahan di wilayah Kabupaten Sidoarjo, terutama berkaitan dengan berlakunya UU Cipta Kerja.