Jakarta, JurnalBabel.com – Ahli hukum tata negara, Muhammad Rullyandi, memandang Rancangan Undang-Undang Tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (RKUHAP), perlu menempatkan pentingnya penghargaan terhadap perlindungan hak asasi manusia (HAM) dalam proses penegakan hukum pidana.
Pasalnya, kata dia, pelaksanaan hukum acara pidana lahir dari suatu norma konstitusi, yaitu negara hukum yang didalamnya ada jaminan dan perlindungan HAM yang merupakan supremasi hukum tertinggi dalam norma konstitusi, yaitu perlindungan HAM.
Tidak hanya itu, lanjutnya, lahirnya perlindungan HAM berawal dari adanya konsep ideologi negara Indonesia, yakni Pancasila sila kedua: Kemanusian yang Adil dan Beradab.
“Oleh karena itu, pentingnya penegakan hukum dengan mempertimbangkan perlindungan HAM,” kata Rullyandi dalam rapat dengar pendapat umum Komisi III DPR dengan ahli, di Kompleks Parlemen, Senayan, belum laman ini.
Rullyandi mengungkapkan, ada satu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menjadi patokan dalam menempatkan perlindungan HAM dalam penegakan hukum. Yaitu putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 yang menyatakan “Lebih baik membebaskan orang yang bersalah daripada menjatuhkan pidana kepada seseorang yang tidak bersalah”.
Ia menjelaskan, dalam ungkapan tersebut terdapat makna yang dalam bahwa ketika pengadilan menjatuhkan putusan yang menyatakan seseorang bersalah dan karena itu dijatuhi pidana, harus benar-benar didasarkan pada suatu fakta hukum yang diyakini suatu kebenaran.
Kalau tidak demikian, tambah dia, maka akan terjadi bahwa negara melalui pengadilan pidana telah melanggar HAM. Padahal secara konstitusional negara melalui proses peradilan justru harus melindungi HAM.
“Berarti kita memulai proses penegakan hukum itu, tindak pidana, harus dimulai dari proses penyelidikan untuk menghormati, meletakan suatu nilai-nilai penghargaan tertinggi terhadap adanya HAM,” terangnya.
Rullyandi juga menilai RKUHAP perlu adanya eksistensi penyelidikan sebagai pelindungan dan jaminan HAM. Pasalnya, proses penyelidikan membuka ruang untuk menghormati penghargaan terhadap HAM.
Ditambah, sambungnya, adanya Putusan MK Nomor 9/PUU-XVII/2019 halaman 23 yang menyatakan “Di dalam penyelidikan maka penyelidik tidak boleh melakukan tindakan penegakan hukum dengan dampak merendahkan harkat martabat manusia”.
“Dan itu menjadi sebuah norma hukum bahwa penting diawali proses penyelidikan. Yang demikian penyelidikan tidak diperkenankan diberikan ruang upaya paksa yang merampas kemerdekaan,” ujarnya.