Jakarta, JURNALBABEL –Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah mengaku sepakat dengan pernyataan politikus senior Amien Rais meminta IT Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk diaudit forensik. Sebab, berdasarkan catatan Fahri, data KPU memang aneh.
“Jadi saya sudah baca data-datanya. Rupanya memang data-data DPT itu banyak yang aneh. Jadi misalnya invalid itu, jumlahnya 8-9 persen dari 192 juta pemilih. Itu kan besar itu 8-9 persen itu bisa sampai 15 juta. Misalnya, katanya ada 9 juta yang lahir tanggal 1 Juli. Kan aneh data itu,” kata Fahri di Oval Atrium Mall Epiwalk, Rasuna, Jakarta Selatan, pada Minggu (3/3/2019).
Selain itu, Fahri juga menyebut potensi kecurangan dalam pemilu yang berat bukan pada kecurangan manual tapi lebih pada digital. Oleh sebab itu, Fahri sependapat dengan Amien agar data IT KPU diaudit ulang.
“Karena gini ya, kecurangan yang paling berat itu bukan kecurangan manual. Kecurangan manual itu gampang ditemukan. Si A curang, si A nyoblos sendiri, si B gak mau teken C1 dan seterusnya, itu gampang. Yang bahaya adalah kecurangan digital, makanya supaya keraguan, kecurigaan ada kecurangan digital, ya forensik dong,” jelasnya.
Karenanya, Fahri pun menyarankan keterlibatan ahli dari para pasangan calon untuk mengaudit data KPU.
“Buka, panggil ahli dari 01, ahli dari partai-partai (peserta pemilu), ini sistemnya, suruh bongkar. Bongkar itu bukan berarti mulai dari nol, tapi periksa. Ada masalah nggak di situ,” tukasnya.
“Dia (KPU) pakai data pemilu lama, menurut saya data pemilu lama itu menurut saya data yang rawan ditumpangi dengan bahasa program tertentu yang bisa berbahaya, bisa diatur kode-kode algoritma yang berbahaya,” ungkap Fahri.
Diketahui, sebelumnya politisi senior PAN Amien Rais sudah lebih dulu meminta KPU tidak keberatan melakukan audit forensik IT. Menurutnya, jika hasilnya tidak clear, Prabowo-Sandiaga akan mundur dari kontestasi Pilpres.
Sementara itu, komisior KPU Wahyu Setiawan, menanggapi, bahwa penghitungan suara Pemilu tidak bergantung pada IT.
“Hasil akhir pemilu itu tidak dilakukan berdasarkan teknologi informasi. Jadi hasil akhir pemilu itu berdasarkan kertas. Kertas yang secara berjenjang, mulai dari penghitungan suara di tingkat TPS, rekapitulasi di kecamatan oleh PPK, lalu rekapitulasi di tingkat KPU kabupaten, lalu naik lagi rekapitulasi di tingkat provinsi, dan terakhir rekapitulasi nasional di tingkat KPU,” papar Wahyu, Jumat (1/3/2019) lalu. (Joy)
Editor: Bobby