Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS), Amin Ak menyesalkan dicabutnya larangan ekspor masker dan alat pelindung diri (APD) oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang terkesan terburu-buru.
Pencabutan tersebut dikeluarkan oleh Kemendag melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.57 Tahun 2020 tentang Ketentuan Ekspor Bahan Baku Masker, Masker, dan Alat Pelindung Diri (APD) pada Selasa (16/6/2020).
Menurut Amin, seharusnya pemerintah mengkaji pasokan dan kebutuhan di dalam negeri terlebih dahulu secara lebih detail, sebelum mencabut larangan eskpor. Karena faktanya, masih banyak rumah sakit, puskesmas, klinik, dan tenaga medis yang kesulitan memperoleh APD berkualitas dengan harga terjangkau.
Selain itu, semestinya pemerintah juga menghentikan impor APD karena masih banyak pelaku industri dalam negeri yang mengeluh APD buatannya tidak terserap oleh pasar karena banyaknya beredar APD impor.
“Kelebihan pasokan APD di dalam negeri, karena banyaknya APD impor dan produksi lokal dianggap belum memenuhi standar,” kata Amin dalam keterangan tertulisnya, Kamis (18/6/2020).
Anggota DPR dari Dapil Jatim IV (Kabupaten Jember dan Lumajang) itu menilai pencabutan larangan ekspor APD sebagai keputusan yang gegabah, mengingat kasus positif Covid-19 di dalam negeri masih sangat tinggi, bahkan cenderung meningkat. Hal itu bisa dilihat dalam beberapa hari terakhir penambahan kasus positif berkisar antara 900 – 1.200 orang per hari.
Seiring meningkatnya jumlah warga yang terinfeksi Covid-19, lanjut Amin, maka kebutuhan APD pun diperkirakan bakal meningkat. Sementara apabila ekspor dibuka lebar dan kebutuhan di dalam negeri kembali melonjak, maka tenaga medis di dalam negeri akhirnya dihadapkan pada dua pilihan, terpaksa membeli produk impor yang harganya mahal atau membeli produk non standar.
“Kebijakan membuka izin ekspor ini dapat memicu kenaikan harga APD di dalam negeri. Apalagi bila pasokan di dalam negeri menurun akibat kebijakan ini, dan pada saat yang sama demand meningkat,” jelasnya.
Amin mengingatkan beberapa waktu lalu, munculnya kasus Dokter dan Tenaga Kesehatan yang kekurangan APD (baju hazmat) yang standard dan masker yang sesuai standard (N95). Padahal Baju Hazmat yang tidak standard dapat menyebabkan tenaga kesehatan tertular Covid-19 melalui pori-pori bahan APD.
“Kita pernah mengalami krisis ketersediaan APD (baju hazmat, masker, face shield dan bahan bakunya) terutama selama Maret hingga April 2020. Meski ketersediaannya saat ini jauh lebih baik, namun perhitungan untuk kebijakan ekspor harus cermat,” kata Amin mengingatkan.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mencatat hingga 7 Juni 2020 ada 32 Dokter di Indonesia yang wafat akibat Covid-19. Ini termasuk jumlah korban tertinggi di dunia.
Di Jawa Timur ada 175 Tenaga Kesehatan tertular Covid-19, ada 6 orang diantaranya yang wafat. Bahkan salah satu yang wafat akibat Covid-19 di Surabaya adalah perawat yang sedang hamil. Di Nusa Tenggara Barat, ada 66 Tenaga Kesehatan yang terjangkiti Covid-19. Menurut Amin, mereka seharusnya jadi prioritas pertama karena berjuang di garis terdepan.
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR ini juga mengingatkan amanah Pasal 50 ayat 2 UU No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan menyebutkan pelarangan ekspor barang untuk menjaga kepentingan nasional serta melindungi kesehatan dan keselamatan manusia.
“Bila akibat kebijakan pencabutan larangan eskpor ini, terjadi kenaikan harga APD dan masker di dalam negeri, pemerintah dapat berpotensi melanggar UU No.7/2014 tentang Perdagangan pasal 25, 26 dan 54,” katanya.
Pasal 25 UU Perdagangan mengamanahkan pemerintah untuk mengendalikan barang penting bagi rakyat dari 3 hal, yaitu pasokan, mutu dan harga. Amin menegaskan bila mutu APD dalam negeri jadi berkurang atau harga APD jadi melonjak akibat Permendag ini, pemerintah harus bertanggungjawab.
Sedangkan pasal 26 UU Perdagangan mewajibkan pemerintah menjaga ketersediaan dan stabilitas harga barang pokok/barang penting untuk kebutuhan dalam negeri, pada situasi khusus atau adanya gangguan. “Saat pandemi ini, berlaku situasi khusus dimana pemerintah tak boleh gegabah mengambil kebijakan,” tegasnya.
Sementara Pasal 54 ayat 2 UU Perdagangan tersebut menyebutkan kewajiban pemerintah mengeluarkan kebijakan terkait ekspor harus menjaga stabilitas harga dalam negeri. (Bie)
Editor: Bobby