Jakarta, JurnalBabel.com – Realisasi bantuan modal kerja bagi pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) melalui penyaluran kredit oleh bank-bank pelat merah dinilai tidak berjalan sesuai harapan. Setidaknya ada dua alasan yang menyebabkan kondisi tersebut terjadi.
Pertama, minimnya pendampingan dan pembinaan UMKM terutama dalam konteks pemulihan pasar dari produk mereka. Kedua, program bantuan hanya terfokus pada restrukturisasi kredit semata, sehingga bank-bank penyalur terkesan asal menggugurkan kewajiban saja.
Hal itu disampaikan Anggota Komisi VI DPR, Amin Ak dalam keterangan tertulisnya, Selasa (25/8/2020). Akibatnya kebijakan yang baik dan diharapkan menjadi solusi menghindari resesi ekonomi itu tidak menyentuh akar permasalahan para pelaku UMKM.
Bantuan modal kerja memang diperlukan, namun kesulitan mendapatkan pasar akibat turunnya daya beli masyarakat merupakan hal yang jauh lebih berat bagi UMKM. Menurut Amin, jika modal kerja diibaratkan pertolongan pertama lewat bantuan pernafasan, maka pemulihan pasar merupakan pertolongan lanjutan agar pelaku UMKM bisa bangkit dan survive.
“Agar bisa survive dan kemudian bangkit usahanya, maka pemerintah harus mampu memfasilitasi pemulihan pasar mereka. UMKM butuh panduan agar bisa shifting ke produk-produk yang banyak dibutuhkan konsumen,” kata Amin.
Saat ini, lanjut Amin, berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM, dari total 64 juta pelaku usaha kecil dan menengah yang ada di Indonesia, 80% atau sekitar 51 juta di antaranya masih unbankable atau tidak mendapat bantuan pinjaman dari bank. Sehingga menurutnya, jumlah pelaku UMKM yang disasar pemerintah masih terlampau kecil.
Memang kemudian ada bantuan presiden sebesar Rp2,4 juta untuk 12 juta pelaku UMKM, namun proses verifikasi dan validasinya dalam waktu singkat tentunya tidak mudah. Politisi PKS ini berharap pemerintah mau jemput bola agar penerima bantuan betul-betul UMKM yang memang membutuhkan dengan tolok ukur yang jelas.
“Pemerintah menggelontorkan Rp30 triliun kepada bank-bank BUMN agar disalurkan ke UMKM. Namun outcomenya harus jelas karena program ini menggunakan uang rakyat,” ujarnya.
Selanjutnya untuk permasalah kedua, menurut Amin, restrukturisasi kredit saja tidak cukup karena persoalan yang dialami UMKM akibat pandemi itu sangat kompleks. Restrukturisasi kredit hanya efektif bagi pelaku UMKM yang memiliki persoalan keuangan yang berat namun usahanya masih bisa berjalan dengan suntikan modal. Sedangkan kebanyakan pelaku UMKM banyak yang kehilangan pasar karena turunnya daya beli masyarakat.
“Yang lebih memprihatinkan, bank-bank BUMN mempersyaratkan debitur melunasi utang lama mereka terlebih dahulu agar bisa memperoleh kredit baru. Ini jelas nggak menyelesaikan persoalan dan terkesan nyari aman. Padahal bank-bank tersebut juga harus bersama-sama aktif meminimalisir risiko,” kata Amin. (Bie)