Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi III DPR Wihadi Wiyanto mempertanyakan hasil temuan Ombudsman RI terkait potensi maladministrasi penyelenggaraan persidangan online di tengah pandemi Covid-19.
“Ombudsman boleh saja menyatakan demikian, tetapi saat pandemi ini, Ombudsman seharusnya paham bahwa ini permasalahan darurat. Tetapi untuk mengisi kekosongan KUHAP, maka dilakukan sidang online,” kata Wihadi saat dihubungi, Rabu (10/6/2020).
Sebelumnya, Ombusdman melakukan kajian terkait persidangan online melalui empat metode yaitu focus group discussion, wawancara, observasi dan survei. Kajian dilakukan dalam kurun waktu 5 hingga 15 Mei 2020 dengan 16 pengadilan negeri yang menjadi sampel, yaitu Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, PN Jakarta Selatan, PN Depok, PN Bogor, PN Cibinong dan PN Bekasi. Kemudian, PN Tangerang, PN Serang PN Medan, PN Batam, PN Jambi, PN Surabaya, PN Denpasar, PN Banjarmasin, PN Kupang dan PN Manokwari.
Hasil kajian tersebut, Ombudsman menemukan potensi maladministrasi terkait penyelenggaraan persidangan online di tengah pandemi Covid-19. Maladministrasi yang dimaksud terkait penundaan berlarut dan maladministrasi terkait tidak kompeten. Ada empat faktor yang mempengaruhi potensi terjadinya maladministrasi itu. Pertama, keterbatasan sarana dan prasarana di pengadilan negeri berupa keterbatasan perangkat untuk menggelar sidang secara online, baik di ruang pengadilan dan di luar pengadilan, khususnya di rumah tahanan dan lapas.
Kedua, minimnya sumber daya petugas yang ahli di bidang sistem teknologi informasi (IT). Ketiga, koordinasi antarinstansi dan antarlembaga yang membuat kurangnya persiapan dari pihak lain di luar pengadilan. Keempat, ketidakjelasan waktu jalannya persidangan.
Atas masalah ini, Ombudsman menyarankan Mahkamah Agung (MA) untuk membuat peraturan Mahkamah Agung terkait penyelenggaraan sidang secara online. Peraturan tersebut diperlukan untuk memperkuat kedudukan sidang secara online yang selama ini baru diatur melalui surat edaran Ketua MA (SEMA).
Menurut Wihadi, Ombudsman tidak bisa menyalahkan kepada MA atas masalah ini. Persidangan online merupakan suatu terobosan dan dibutuhkan di tengah pandemi Covid-19. Sehingga, lanjutnya, penahanan terhadap tersangka maupun terdakwa tidak berlarut-larut dan hak hukumnya terpenuhi.
“Ombudsman lihat masalah ini dari satu sisi. Kalau tidak (persidangan online tidak ada-red) justru menurut KUHAP menjadi masalah, karena tahanan bisa bebas demi hukum kalau itu tidak selesai persidangannya. Belum ada vonis, sementara masa tahanannya sudah habis dan tidak bisa diperpanjang lagi,” jelasnya.
Lebih lanjut politisi Partai Gerindra mengatakan lembaga terkait seperti Kejaksaan Agung, Kepolisian dan Kemenkumham harus menyesuaikan dengan adanya persidangan online di tengah pandemi Covid-19. Sekaligus untuk menutupi dan mengatasi hasil temuan Ombudsman tersebut. Namun Wihadi menilai hasil temuan tersebut bukan maladmistrasi.
“Saya kira tidak bisa itu dikatakan Malpraktek, tetapi ini suatu masalah yang darurat. Dalam kedaruratan, semuanya tidak tahu apa yang harus dilakukan, di mana kelemahannya harus ditutupi. Tidak serta merta menyalahkan demikian,” ujarnya.
Persidangan online ini sebelumnya juga mendapatkan kritikan dari berbagai kalangan karena memiliki berbagai kendala. Salah satunya terkait terbatas pembuktian dipersidangan. Padahal pembuktian adalah tahapan penting dalam peradilan untuk menampakkan bahwa terdakwa bersalah atau tidak. Dalam hukum pembuktian, untuk melindungi kepentingan umum, Kejaksaan sebagai alat negara ditugaskan untuk melakukan beban pembuktian sekaligus guna melakukan tuntutan pidana. Sementara hakim dalam perkara pidana diwajibkan untuk mencari kebenaran materiil.
Wihadi tidak sepakat dengan penilaian tersebut. “Orang diadili tidak berhadapan langsung dengan hakimnya maka auranya tidak kelihatan, tinggal gitu saja. Tidak masalah di pembuktian, kan mekanismenya ada. Tetapi ini kan masih pandemi, kalau pandemi selesai kan sudah mulai lagi persidangan tatap muka langsung,” kata Wihadi.
Ombudsman Harus Belajar
Legislator dari daerah pemilihan Jawa Timur ini juga tidak sepakat dengan rekomendasi Ombudsman agar MA membuat peraturan Mahkamah Agung terkait penyelenggaraan sidang secara online. Peraturan tersebut diperlukan untuk memperkuat kedudukan sidang secara online yang selama ini baru diatur melalui surat edaran Ketua MA.
Wihadi justru meminta Ombudsman belajar mengenai kedudukan hukum dari SEMA. Pasalnya, kata Wihadi, SEMA merupakan peraturan yang mengikat bagi institusi/lembaga terkait sistem peradilan Indonesia. Selain itu, tambahnya, SEMA dikeluarkan tidak hanya untuk mengatur masalah persidangan online, tetapi juga dikeluarkan untuk mengatur berbagai permasalahan hukum lainnya.
“Ombudsman disuruh belajar dulu SEMA itu sebagai apa? SEMA itu mengikat pada pengadilan kan. Peraturan hukum apa lagi yang diminta sama dia?” pungkasnya.
Persidangan online di tengah pandemi Covid-19 berawal dari diterbitkannya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Selama Masa Pencegahan Penyebaran Covid-19 di Lingkungan MA dan Badan Peradilan di Bawahnya tertanggal 23 Maret 2020, bahwa persidangan perkara pidana tetap dilaksanakan khusus terhadap perkara-perkara yang terdakwanya sedang ditahan dan penahanannya tidak dapat diperpanjang lagi selama masa pencegahan Covid-19.
Atau persidangan perkara pidana, pidana militer, jinayat terhadap terdakwa yang secara hukum penahanannya masih beralasan untuk dapat diperpanjang, ditunda sampai berakhirnya masa pencegahan penyebaran Covid-19 di lingkungan MA dan Badan Peradilan di bawahnya. Namun, MA, Kejaksaan, Kepolisian, dan Ditjen Pemasyarakatan Kemenkumham sepakat menandatangani Nota Kesepahaman tentang Pelaksanaan Sidang Perkara Pidana melalui Konferensi Video dalam Rangka Pencegahan Covid-19 pada 13 April 2020. (Bie)
Editor: Bobby